Mohon tunggu...
Kirana Kejora
Kirana Kejora Mohon Tunggu... -

just independent writer, ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel Air Mata Terakhir Bunda

2 November 2011   07:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:09 5538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AKU BUKAN ANAK YATIM

(kenangan 17 tahun yang lalu)

Di balai desa nampak antrian panjang barisan fakir miskin dan anak yatim untuk mendapatkan jatah beras miskin (raskin).

Terlihat Delta yang sedang kepanasan, beberapa kali mengelap keringat di dahinya dengan kedua punggung tangannya. Sambil sesekali melihat ke depan dan belakang barisannya, dia mencoba bersabar untuk mendapatkan jatah beras yang menjadi haknya dan keluarganya.

Kini tiba gilirannya setelah dua jam mengantri dengan tertib. Delta berharap segera mendapatkan apa yang diharapkannya, membawa pulang sekantong beras untuk makan mereka beberapa hari ke depan.

Namun apa yang dialaminya sungguh menyayat hati kecilnya. Dengan wajah bingung bercampur sedih, dia menatap dua perempuan di depannya yang sedang bertengkar karenanya.

“Dia kan tidak yatim, nggak perlu disantuni.”

“Tapi dia anaknya janda bu, ya masuklah dalam daftar santunan kita.”

“Tapi bapaknya kan masih ada. Artinya masih ada yang wajib bertanggung jawab atas mereka itu. Yok opo seh?”

“Yok opo? Gimana to? Bapake sudah nggak mau bertanggung jawab kok. Malah kawin lagi dengan wanita lain.”

Wes-wes. Ya sudah beri dia jatah satu jiwa saja. Yang lainnya masih banyak yang antri ning!”

Delta masih ingat betul kejadian yang membuat hatinya sedih tujuh belas tahun yang lalu itu. Seorang perempuan bertumbuh tambun, yang sesekali mengunyah makanan, gethuk singkong yang terus dibawanya sambil wira wiri mengatur antrian jatah raskin, bertengkar dengan seorang petugas perempuan yang dia tahu membelanya untuk mendapatkan hak jatah raskin.

**********************************

MENGAJI

Sengaja sore itu dia mengaji untuk menumpahkan segala tanya yang selama ini tidak pernah terjawab. Pikirnya, ustadz Iskan yang selama ini selalu membesarkan hatinya bisa melegakan jawabannya. Informasi tentang keberadaan ayahnya di Kludan sangat mengganggu pikirannya.

Selesai membaca Qur’an yang dipinjamnya dari musholla, Delta langsung bertanya kepada ustadz yang sejak awal mengaji sudah menangkap kegelisahannya.

Mbah, benarkah Allah itu Maha Adil?”

“Kenapa kamu ngomong begitu? Kalau Allah tidak Maha Adil, kalian tidak ada di sini mengaji. Bersyukurlah dengan semua yang telah diberi, apapun pemberiannya.”

“Kalau Allah Maha Adil, kenapa Allah tidak mengingatkan bapak saya ke saya, anaknya? ”

Delta membantah, sudah lama kata-kata itu dipendamnya sendiri. Kalaupun dia menangis saat sendirian di rumah, dia akan segera keluar dari rumah. Berlari sekencang-kencangnya menuju sungai. Lalu menceburkan dirinya ke sungai, berenang hingga kelelahan. Berteriak sekeras-kerasnya Tak peduli hari itu panas terik atau hujan. Baginya hanya itu yang bisa menghiburnya, melupakan kesedihannya, sedikit menyembuhkan lukanya.

**********************

SEPATU

Delta ingin bilang kepada ibunya, protes hatinya, Bapak punya toko sepatu bu. Kenapa dia tidak peduli dengan kita? Setahuku jika orang punya toko sepatu di Kludan, sudah pasti duitnya banyak, kaya. Lalu kenapa dia tidak mau membiayai hidup kita? Apakah salah jika aku datang ke sana minta sepatunya sepasang saja? Aku ingin ke sana, melihat bagaimana wajah bapak, bagaimana merasakan dipeluk seorang bapak. Tapi apakah mungkin dia tahu dan ingat bahwa aku adalah anak yang ditinggalkannya? Kenapa dia bisa melupakan kita bu? Kenapa?

Dengan berat hati, Delta mengucapkan apa yang beberapa hari ini dipendamnya. Dia sudah tak peduli lagi bagaimana respon ibunya, sakit hati, marah atau sedih dengan kalimatnya. Yang jelas dia ingin haknya sebagai anak terpenuhi dari seorang lelaki yang disebut “Ayah”.

“Bu…nggak usah beli sepatu di pasar Larangan.”

“Lho kenapa? Di sana banyak pilihan, harganyapun miring. Ukuran sepatumu berarti 39 ya sekarang.”

Delta memberanikan diri menatap ibunya yang juga menatapnya heran.

“Bu, kata bu haji Waroh, eeehmmm bapak ada di Kludan, punya toko sepatu di Kludan. Nama tokonya Kludan Maju Jaya…”

Ibu Delta tanpa ekspresi apa-apa mendengar kalimat Delta. Dia terus menatap wajah anak yang tak pernah tahu wajah ayahnya itu. Ayah yang konon dulu menghilang di negeri antah berantah, nyatanya kini berada di desa tetangga, sangat dekat dengan desa mereka. Hidup dengan janda kaya yang memang hanya membutuhkannya sebagai lelaki, bukan sebagai suami.

Dia tahu wajah Delta menyiratkan ingin bertemu, melihat wajah ayahnya dengan alasan ingin sepatu baru. Sebuah alasan yang masuk akal, permintaan yang manusiawi. Seorang bocah yang rindu pelukan ayahnya. Siapapun ayahnya.

“Bu, Delta ingin melihat ayah sekaligus minta sepatu baru. Masak nggak boleh?”

Mata Delta tertuju kepada butiran-butiran beras di dalam tampah yang dipangku ibunya. Dia semakin mendekatkan wajahnya pada tampah. Matanya melihat beberapa kutu beras masih asyik berselancar diantara butiran beras raskin itu.

“Berasnya kutuan ya bu?”

“Ah nggak, hanya sedikit saja. Besok yang penting saat kamu makan, kutunya sudah nggak ada. Bersyukurlah masih diberi Allah beras ini. Kamu bisa bayangkan mereka yang tidak bisa makan nasi. Sudahlah, sekarang kamu harus tidur.”

Ibunya berdiri, menaruh tampah beras di atas meja. Dia tidak ingin anaknya sedih atau galau karena mereka makan beras berkutu. Beras yang tak layak makan, beras yang sudah setengah busuk, dan membahayakan kesehatan mereka. Namun mau bagaimana lagi, hal seperti itu sudah sangat biasa terjadi. Lalu mereka sama-sama terdiam, membisu, melupakan percakapan tentang sepatu.

***************************

SANDAL TEROMPAH BERPENITI

Semua orang yang berada di lapangan, sangat tertarik dengan gemuruh Reog Cemandi. Delta makin bangga dengan regunya. Beberapa guru pendamping, termasuk Bu Siti, terus menyemangati murid-muridnya dengan membagi permen dan es teh yang dibungkus plastik. Delta sangking bersemangatnya mengatur dan membaur dengan group reog-nya, tidak menyadari posisinya hampir bertubrukan dengan Ramli.

“Waw, duh! Loro rek!”

Delta meringis kesakitan saatRamli yang bertubuh tambun sedang menabuh terbang, berjingkrak di depannya, tanpa sengaja menginjak kakinya.

Wes rek, siap-siap. Giliran kita maju. Delta ayo semangat!”

Delta yang masih memegangi kakinya. Langsung mengatur baris teman-temannya. Dia sudah tak peduli lagi sakit kaki kanannya.

Giliran regu Lintang Renokenongo maju ke depan, memberi hormat kepada Bupati dengan tamu undangan lainnya yang duduk di tribun utama.

Sambutan sorak sorai dan tepuk tangan penonton membuat mereka makin semangat menebar senyum. Barisan nampak rapi, diiringi paduan musik etnik angklung dan terbang yang mengiringi Fakhri dan Amin dengan tarian topengnya.

Reog Cemandi ala Delta menjadi tontonan yang menarik hari itu. Diantara sekian regu yang kebanyakan nampak mewah dengan aneka baju modern dan kebarat-baratan, regu Delta terlihat paling natural. Delta terus menebar senyum ke penonton, berjalan tenang menuju rute yang ditentukan.

Setelah keluar dari alun-alun, dan tepat di depan dewan juri, hal yang tidak terduga terjadi. Wajah Delta mulai terlihat resah, dia merasakan sesuatu di kaki kanannya. Jalannya mulai pelan. Dia menengok ke bawah sedikit. Wajahnya mendadak pucat. Karena ternyata, tali kulit sandal terompah yang dipakai kaki kanannya putus, jalannya mulai terseok-seok. Nampaknya injakan kaki besar Ramli membuat tali terompahnya rapuh dan putus. Dia tidak bisa menyembunyikan cacat jalannya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk melepas kedua terompahnya, dengan kaki kepanasan, nyeker, dia tetap meneruskan jalannya.

Sementara teman-temannya yang ada di barisan depan mulai ramai berbisik. Bu Siti yang mengetahui kesulitan Delta, segera menenangkan murid-muridnya. Delta merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa. Dia ingin segera acara karnaval itu berakhir. Beruntung, Bu Siti segera mengambil tindakan. Sandal terompah Delta diambil dan disambung dengan peniti. Diberikannya kepada Delta yang mulai kepanasan dan kesakitan telapak kakinya.

Delta sedikit lega setelah Bu Siti memberikan terompah-nya. Dia kembali berjalan dengan tenang, namun semangatnya sudah mulai luntur. Ketegangan di wajahnya tak bisa disembunyikannya.

Alunan musik reognya terasa terdengar fals, cempreng, kacau, tidak karuan. Pikirannya kalut. Hatinya menciut. Jalannya terasa berat. Jarak yang mereka tempuh terasa sangat panjang. Waktu terasa lama sekali untuk mencapai ke tempat finish. Hingga tanpa terasa lagi, sorak sorai para ibu teman-temannya memekakkan telinganya. Teman-temannya berhambur menuju supporter mereka masing-masing. Bu Siti menenangkannya, memberinya minum, sepertinya guru muda itu tahu kegalauan Delta.

Delta lalu duduk di sudut tribun alun-alun sambil minum es teh pemberian Bu Siti. Fakhri mendatanginya. Dia tahu hati sahabatnya sedang kacau. Delta sedih bukan karena ibunya tidak datang memberinyan support. Namun karena hatinya kecewa, merasa gagal.

Dia menjauh dari teman-temannya, mengambil posisi jauh dari podium panitia. Dia tidak ingin mendengar pengumuman pemenang. Fakhri duduk di sisi kanannya. Mata mereka sama-sama melihat suasana ramai di depannya. Teman-teman mereka yang berbagi suka dengan ibu mereka, atau kakak bahkan tante atau nenek mereka. Suasana yang tak mereka dapatkan sore itu.

Tak berapa lama, terdengar sorak sorai regu Lintang Renokenongo, mereka saling berpelukan. Bu Siti nampak mencari-cari Delta yang masih duduk, menundukkan kepalanya sambil menatap sedih sandal terompah kanan dengan peniti-nya.

“Del, kita menang! Selamat ya!”

Bu Siti menjabat tangan Delta yang kaget dengan kabar tanpa duga itu. Fakhri nampak senang, merangkul Delta.

“Juara berapa bu?”

Fakhri bertanya, seakan mewakili tanya Delta.

“Juara harapan tiga. Nggak papa ya?!”

Delta menunduk lesu, matanya yang tadi terlihat sejenak berbinar, tiba-tiba redup kembali. Dia sangat kecewa. Seharusnya, paling tidak regu mereka bisa menjadi juara satu atau tiga. Dia melihat sandal terompah-nya, lalu melepasnya, dan membuangnya jauh-jauh ke atas, setelah Bu Siti pergi meninggalkan mereka.

“Kok kon buang seh sandal terompahe Cak Rosyid?”

Wes dikekno aku. Timbangane aku mangkel ndelok terompah iku.”

“Trus kon mulih nyeker? Sinting!”

Fakhri kesal dengan apa yang dilakukan Delta barusan. Bu Siti mendatangi mereka, memberi dua nasi bungkus dan dua air putih yang dibungkus plastik.

“Habis makan segera kumpul ke mobil pick up ya. Takut hujan turun kalau kesorean pulang. Ibu tunggu di sana.”

“Ya bu. Terima kasih.”

Fakhri menimpali kalimat Bu Siti yang mulai tahu kekecewaan Delta.

“Yuk mangan sek. Wes jo dipikir maneh. Lali ta kon omonge ibumu. Menang kalah iku podo wae. Kon dewe sing sering ngomongi aku ngono. Wes! Mangan sek saiki!”

Fakhri tetap setiamenyemangati sahabat kecilnya itu. Dia mengajak Delta makan dan mengendapkan pikiran. Delta dengan lesu membuka nasi bungkus, menyuapkan nasi dan lauknya pelan-pelan. Pikirannya mulai mencair sejuk saat Fakhri menyebut kata “ibumu”

**********************

TITIPAN IBU

Lewat teman Delta yang baru saja keluar dari kamar, Sriyani menitipkan serantang lontong kupang, sebuah buku cerita tua dan sebuah amplop untuk Delta.

“Assalamu’alaikum nak.”

“Wa’alaikum salam.”

“Maaf merepotkan, bisa titip ini buat Delta?”

“Oh bisa. Maaf Ibu ini siapanya Delta?”

“Saya hanya orang yang dititipi ini buat Delta. Tolong ya nak.”

Sriyani terpaksa berbohong karena dia tidak mau siapapun melihatnya sebagai ibu Delta, aktifis kampus, mahasiswa cerdas yang smart dan energik, dikagumi banyak orang jadi berkurang penilaiannya. Segera Sriyani berpamitan, dan buru-buru keluar dari teras kos Delta. Dia tidak ingin teman Delta berpikir tentang siapa dia lebih lama, karena dari matanya, teman Delta yang dititipinya tadi menangkap sesuatu yang beda saat melihatnya. Sementara sore itu langit makin gelap karena mendung pekat memayungi wilayah Surabaya Timur itu, hujan deras akan turun, tinggal tunggu hitungan menit.

Sampai di ujung jalan kecil di kawasan Keputih itu, Sriyani lamat-lamat mendengar suara yang sangat dikenalnya, memanggilnya. Dia sedikit menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang, namun segera dia mempercepat langkahnya menuju halte tua di seberang jalan, menunggu angkutan kota membawanya ke terminal Joyoboyo untuk transit dengan mobil colt diesel jurusan Surabaya – Porong.

“Ibuuuuuuu! Buuuu tungguuuu!”

Saat suara itu semakin dekat, baru Sriyani menoleh, menatap si pemilik suara yang tiba-tiba memegang erat, mencium tangan kanannya. Di bawah rintik hujan dan gemuruh guntur, Delta mengajak ibunya menepi di halte.

“Ibu kenapa nggak masuk ke kamar? Delta ada di kamar bu.”

Sriyani hanya tersenyum kecil menatap anaknya yang terlihat makin matang. Dia belai rambut ikal Delta, lalu dia duduk di halte tua itu.

“Ibu nggak ingin teman-temanmu tahu bahwa Sriyani ibumu.”

“Kenapa ibu berpikir begitu? Saya tidak pernah malu memiliki ibu seorang pedagang lontong kupang dan seorang buruh cuci. Ibu sangat terhormat di mata saya.”

Sambil berdiri dan melambaikan tangan kanannya, meminta sebuah angkutan kota berhenti, Sriyani berkata lirih, “Belajarlah, jadilah orang yang pintar. Oh ya, baca ya buku yang ibu berikan tadi.”

“Itu buku apa bu?”

“Buku dongeng, sengaja ibu simpan buatmu. Buat belajar tentang cinta dan kekuatan anak seorang janda. Ibu pulang dulu ya!”

Delta tak kuasa menahan tubuh ibunya yang sedikit berlari menerjang hujan, lalu masuk ke dalam angkutan kota, menatapnya dengan harap.

Air mata Delta menetes membaur dengan deras hujan yang menyejukkan wajah simpatiknya. Sejuknya air hujan yang diterjangnya sore itu karena sentuhan lembut, ketulusan kasih sang ibu yang tak pernah mau dianggap ada untuknya.

************************

MAKAM LUMPUR

Tradisi nyekar, berziarah ke makam, menabur bunga-bunga doa setiap hari raya Idul Fitri kiranya kini hanya jadi impian bagi Delta.

Doa yang dipanjatkan untuk ibunda tercinta hanya bisa dilakukannya di atas tanggul lumpur. Meski dimanapun berada kita bisa berdoa untuk siapa saja, namun ada kalanya keinginan berdoa di tempat terakhir seseorang yang kita doakan itu berada. Di tempat pemakamannya.

Desa Renokenongo, termasuk desa yang hilang terendam lumpur. Sebuah makam sederhana yang akan Delta bangun itu telah tiada. Entah kini berada di titik mana, tak jelas pandangan mata melihat keberadaannya. Semua telah tenggelam, membhumi dengan hadirnya gelombang lumpur raksasa tiada duga.

Sungguh takjub sekaligus mengerikan melihat fenomena yang terjadi di Sidoarjo Jawa Timur itu. Desa yang sebelumnya ramai oleh denyut kehidupan, kini tiba-tiba menjadi sunyi senyap. Hanya terdengar ratap kesedihan dari derita luka yang selalu menghiasi kehidupan di desa – desa kecil itu. Sementara semburan demi semburan lumpur tiada henti.

Delta tak lagi memikirkan penyebab lumpur yang menenggelamkan rumah, sekolah dan makam ibunya itu adalah sebuah bencana atau kesalahan si Fulan mengebor. Baginya kini, kenangan di Renokenongo adalah sebuah kekuatan hati, untuk mengingatkan sejarah masanya. Jangan pernah lupa siapa dia, dan darimana berasal.

Satu hal yang sangat menyedihkannya adalah, ketika dia tidak bisa menemui seseorang yang juga sangat berjasa bagi hidupnya. Sosok pengganti figur ayahnya yang setia memberinya bahan bacaan.

Fakhri bercerita bahwa Cak Rosyid kini menderita schizophrenia. Dia kadang berada di sekitar pasar Porong, tempat pengungsian. Tapi bisa juga dia mendadak menghilang. Entah kemana alam bawah sadar membawanya pergi. Dia jarang bicara, banyak merenung, namun tiba-tiba bisa menangis, meraung-raung menyebut nama istri dan anaknya.

Rumah yang baru dia bangun untuk keluarganya, lenyap tertelan lumpur. Hilang bersama dengan kepergian istri dan anaknya. Cak Rosyid yang baru menikah dua tahun sebelum bencana lumpur, depresi melihat rumahnya terkubur lumpur. Dan semakin parah depresinya saat istrinya pergi, meninggalkannya begitu saja di barak pengungsian.

Konon istrinya tidak kuat dengan keadaan yang menimpa mereka. Cak Rosyid, sosok yang ringan tangan, suka menolong dan selalu tulus kepada semua orang itu kini telahmemiliki dunia sendiri, dunia imajinasi yang dulu sering dia ciptakan untuk menyemangati, menyenangkan hati Delta di kala sedih.

Delta tak ingin menjadi kacang yang lupa kulitnya. Dia akan selalu mengingat siapa saja orang-orang yang telah berperan di dalam hidupnya.

Selama satu minggu bersama Fakhri, dia berusaha mencari Cak Rosyid. Bertanya ke sana ke mari. Namun selalu nihil informasi.Akhirnya Delta dengan perasaan kecewa, menitip pesan kepada Fakhri.

“Tolong jika bertemu dengan Cak Rosyid, segera kabari aku. Atau kalau kamu bisa, tolong bawa dia ke Jakarta. Aku ingin merawatnya, berusaha menyembuhkannya. Bagiku, dialah ayahku.”

Fakhri sangat terharu akan kearifan sifat sahabatnya. Delta Santoso benar-benar nama yang tepat. Dia akan ingat darimana dia berasal, darimana dia terbentuk.

Perjuangan ibunya melawan badai hidup, melindungi dan menyelamatkan anak-anaknya dari kemiskinan layak mendapatkan lancana emas lebih dari 24 karat jikalau ada! Kilau intan berlianpun tak akan mampu menandingi sinar jiwa, cahaya hati yang dimiliki ibunya untuk dia dan Iqbal.

Senja kian merubung, Delta duduk tepekur menatap genangan lumpur, yang telah menjadi danau kuasa. Masa kecilnya terkubur. Tempat bermainnya tenggelam. Sekolahnya hilang. Rumahnyapun terbenam.

Masa lalu hanya sejarah. Kehidupan adalah sekarang, masa depan adalah rancangan, kembali dia mengingat kata-kata bijak ibunya yang sering terulang-ulang didengarkan ke telinganya dulu saat dia sering mengeluh tidak bisa memiliki ini itu seperti teman-temannya yang lain.

**************************

PERTUNANGAN GAGAL

Ibu hanya perempuan kecil yang tak bisa apa-apa kecuali memanjatkan doa di sela waktu ibu bekerja. Ibu berharap, jangan pernah kau menjual derita masa lalu untuk sebuah masa depan. Semoga karya-karyamu kelak bisa bermanfaat bagi bangsa dan agama. Pegangan hatimu adalah keyakinan adanya Allah Yang Maha Kasih, pedoman hidupmu adalah cinta kepada sesama.

Selamat anakku, kau telah jadi sarjana

Ibu, Sriyani

Sebuah kesalahan besar telah dibuatnya, dia tertunduk, menyesal tentang kecemburuan yang membabi buta pada seseorang yang telah tiada. Dimana perasaanmu Lauren? Rutuknya pagi itu. Dia menatap Delta yang masih berdiri, memunggunginya di tepi jendela. Dipeluknya Delta dari belakang.

“Maafkan aku Del. Maaf…”

“Masih cemburukah kamu kepada perempuan utamaku itu?”

Terdengar tangis Lauren semakin menyesakkan dada Delta yang tidak pernah tahan ketika melihat perempuan menangis.

“Maafkan aku…”

Lalu Delta membalikkan badan, memeluk erat perempuan calonpengganti ibu di hatinya itu. Dia mengusap air mata Lauren yang menetesi lengan kanannya.

“Ibu adalah pahlawanku, perempuan utamaku, wanita pertamaku, kau tak perlu lagi cemburu setelah tahu siapa Ibu.”

SELESAI

Kirana Kejora. Penulis Independent. Terlahir di kota Ngawi, 2 Pebruari, ibu dari ”ELANG” Arga Lancana Yuananda (16) dan ”EIDELWEIS” Bunga Almira Yuananda (11). Mulai menulis sejak usia 9 tahun.Lulusan cumlaude Fakultas Perikanan Univ. Brawijaya. Penulis lepas beberapa media cetak, dan pernah menjadi Pemakalah, Pembicara pada Seminar Wajah Kepengarangan Muslimah Nusantara Di Malaysia pada tahun 2009. Telah menulis 40-an Script Film TV, 5 Script Film Layar Lebar, Buku Kepak Elang Merangkai Eidelweis, Selingkuh, Perempuan & Daun, Musibah Gempa Padang (Antologi Puisi Penyair Indonesia-Malaysia), Suara-Suara Hawa (Antologi Puisi Penyair Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei), Elang, Bintang Anak TUHAN (best seller), Querido, Air Mata Terakhir Bunda

NB : Air Mata Terakhir Bunda edar 15 Nopember diseluruh Gramedia, Gunung Agung, Book City

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun