Saat saya menjalani pendidikan profesi dokter, saya pernah bertugas membantu dan mendampingi dokter spesialis kulit di poli rawat jalan. Ketika itu, datanglah satu pasien anak laki-laki diantar orangtuanya yang saya tebak usianya kisaran anak SMP. Adik tersebut mengeluhkan gatal seluruh tubuh.Â
Dokter spesialis kemudian mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengarahkan penyakit yang mungkin diderita sang anak. Saya pun jadi mulai mengira ngira dalam hati, "apakah ini pasien skabies?"Â
Lalu, dokter spesialis kembali bertanya, "maaf ya, tapi adiknya tinggalnya dimana sehari-hari?" Orang tuanya lekas menjawab, "di pesantren dok, ini baru saja libur pulang ke rumah." Deg. Saya langsung ingat pelajaran saya dulu. Saya pernah belajar bahwa pesantren merupakan faktor risiko terkenanya penyakit kulit bernama skabies. Ini lah keadaannya, saya pun akhirnya lihat sendiri contohnya nyatanya di depan mata.
Jadi, apa salah pesantren? Sebelumnya, kita kenalan dulu dengan penyakit yang dimaksud. Penyakit ini merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi sejenis tungau, yaitu Sarcoptes scabiei, yang kemudian kami sebut sebagai penyakit skabies.Â
Awam mungkin lebih mengenalnya dengan kudis. Dalam satu pesantren, angka kejadiannya bervariasi diantara 18%-74% anak pesantren yang menderita skabies.Â
Penyakit ini di Indonesia memang masih cukup tinggi karena iklimnya. Angka penularan penyakit ini dipengaruhi oleh higenitas yang buruk, padat penduduk, dan imunitas. Ya, bukan hanya di pesantren kita dapat menemukan skabies.Â
Penularan melalui kontak fisik dengan sesesorang yang mengidap penyakit ini, membuat lingkungan hidup berkelompok seperti asrama, penjara, dan lainnya memiliki risiko penularan yang lebih mudah. Kontak yang dimaksud termasuk juga kontak tidak langsung seperti penggunaan barang pribadi bersama, seperti handuk, baju, kasur, dan lain lain.
Kembali ke pasien tadi. Badannya penuh ruam dan luka-luka garukan akibat gatal seluruh badan yang sudah ia tahan selama 1 bulan ini. Di sela-sela jarinya pun begitu.Â
Gatal yang dirasakan didominasi pada malam hari, yang merupakan akibat dari aktivitas tungau yang meningkat pada waktu tersebut. Dokter spesialis kemudian memberikan edukasi kepada pasien dan ibunya. Edukasi ini penting untuk keberhasilan pengobatan serta memutus rantai penularan penyakit.Â
Jika tidak, bisa jadi malah menularkan ke keluarga di rumah atau terinfeksi kembali ketika kembali ke pesantren. Selain menggunakan obat dengan petunjuk dokter, pastikan pasien tidak bertukar barang pribadi, termasuk sprei, bantal, pakaian. Â
Lalu, bersihkan kasur, sprei, dan barang pribadi pasien dan kemudian dijemur dibawah matahari dan/atau dicuci dengan air panas untuk membunuh tungau. Menjaga kebersihan tubuh dan barang-barang sekitar juga merupakan hal yang penting dilakukan.Â
Walaupun "hanya penyakit kulit", tetap saja ada produktivitas yang terganggu, tidur malam yang tidak nyenyak, dan kesulitan konsentrasi akibat gatal yang dirasakan. Belum lagi, jika banyak ruam dan luka yang terlihat jelas oleh orang lain, bisa jadi ada tekanan sosial yang didapat.Â
Catatan kecil bagi kita semua, tidak hanya bagi mereka yang berada di pesantren, untuk senantiasa menjaga kebersihan diri dan lingkungan tinggal kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H