Tak terasa seratus hari kepergian Rama berpulang ke hadirat Allah SWT telah lewat. Kemarin (14/02/13) telah dilaksanakan pembacaan tahlil. Memang bagiku perasaan kehilangan Rama tidak seberat apa yang dirasakan Ibu, Mas dan Mbak saya. Kalau diprosentase, saya di kisaran 95%. Sedang mereka 100% benar-benar kehilangan!. Lho kenapa begini? Apakah saya nggak sayang Rama?
Begini, saya sejak umur 12 tahun (lulus MI), tepatnya tahun 1994, saya berjahuan dengan Rama. Saya merantau ke Malang untuk melanjutkan studi sekolah dan pondok. Intensitas pertemuan saya dengan Rama hanya ketika liburan. Itupun paling lama hanya seminggu. Sehingga saya tidak banyak tahu keseharian Rama. Beda halnya dengan Ibu, Mas dan Mbak saya. Karena mereka hidup bersama. Sampai detik inipun, setelah berumah tangga, saya masih berdomisili di Malang bersama istri dan keluarganya. Lha dikarenakan saya sudah terbiasa tidak bersama Rama, maka tatkata beliau dipanggil Allah -Allahumma yarhamuh- rasa kehilangan beliau tidak begitu berat. Mudah-mudahan ini bukan suatu dosa.
Namun dalam hati saya yang paling dalam, sebagai anak, tentu dan pasti saya terpukul dengan kepergian Rama. Sosok imam dan panutan bagi saya. Beliau yang setia merawat, membimbing, dan mengajari saya bagaimana menjalani hidup ini. Terlebih setelah saya berumah tangga. Pastilah membutuhkan nasehat-nasehat bagaimana seharusnya menjalani kehidupan berumah tangga.
Ketika hal ini saya utarakan kepada istri saya, dia mengamini apa yang saya rasakan. Menurutnya, hanya satu nasihat Rama yang teringat di benaknya. Yaitu tatkala saya dan istri pamitan mau pulang ke Malang setelah lebaran Idul Adha. Rama berpesan untuk selalu sholat malam (tahajjud). "Jek koloppae solat malemma".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H