Jumat (11/3) Jepang diguncang gempa berkekuatan 8.8 SR. Gempa ini tercatat sebagai gempa terkuat yang mengguncang Jepang selama 10 dekade terakhir. Skala gempa ini kemudian direvisi menjadi 9 SR oleh Japan Meteorological Agency beberapa jam kemudian. Gempa yang mengguncang lepas pantai kepulauan Honshu ini disusul oleh tsunami setinggi lebih dari 4 meter dan menelan sedikitnya 5000 jiwa. Bencana dahsyat yang menimpa Negeri Sakura ini tidak hanya menggugah duka dunia namun sekaligus mengundang decak kagum terhadap penanganan bencana yang sangat sigap. Jepang memang negara yang terkenal disiplin dalam berbagai aspek. Pengalaman buruk akan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 menjadikan Jepang benar-benar bangkit dari keterpurukan. Kemajuan yang diraih Jepang bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi Jepang juga berhasil mendidik setiap rakyatnya untuk mendisiplinkan diri mereka masing-masing dalam segala hal. Rentetan reaksi dari gempa dan tsunami Jepang tidak hanya berhenti pada sebatas duka dan decak kagum, namun ekonomi dunia juga bereaksi terhadap bencana dahsyat ini. Ekonomi dunia terancam colapse mengingat Jepang adalah salah satu tonggak perekonomian dunia. Beberapa perusahaan besar yang bermarkas di Jepang terkena dampak gempa dan tsunami. Beberapa perusahaan otomatif seperti Honda, Nissan dan Toyota memutuskan untuk menunda pemasaran dalam beberapa minggu ke depan, bahkan Toyota dan Honda memutuskan untuk menutup sementara pabrik mereka sampai evakuasi selesai dilakukan. Reaksi yang sama juga diberikan oleh masyarakat Indonesia. Penggalangan dana dan berbagai bentuk rasa simpati yang dikemas dalam beragai bentuk dipersembahkan oleh putra-putri Indonesia. Jepang tidak hanya berkarya dalam teknologi, namun kejayaannya dalam menguasai dunia hiburan masa kini yang identik dengan komik manga, film kartun, serta aliran musiknya mampu menyedot perhatian remaja dan anak-anak. Tidak heran ketika bencana dahsyat tiga pekan lalu ini memicu reaksi luar biasa masiv dari para komunitas pecinta Jepang di Indonesia. Institut Teknologi Bandung merupakan salah satu institusi yang turut berduka atas bencana yang menimpa Jepang. Duka mendalam ini dikarenakan ikatan pendidikan antara ITB dan Jepang. Tidak sedikit para dosen merupakan alumni universitas di Jepang yang bekerja menjadi dosen di Institut terbaik milik Indonesia ini. Selain itu banyak mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi dan juga bekerja di Negeri Matahari Terbit saat bencana maut menghantam. Berbagai bentuk dukungan mengalir dari Indonesia, khususnya ITB. Terpaut beberapa minggu setelah bencana, Pengabdian Masyarakat Kabinet Mahasiswa ITB (PM KM ITB) memberikan dukungan dalam bentuk video yang berisi “motivational words” untuk Jepang yang diwakili oleh masing-masing ketua divisi Pengabdian Masyarakat Himpunan Mahasiswa Jurusan. Penggantian gambar profil jejaring sosial facebook secara seragam dan serempak juga dilakukan sebagai bentuk rasa simpati terhadap Jepang. Selain itu, di jalanan dilakukan penggalangan dana untuk Jepang oleh berbagai komunitas, mulai dari komunitas manga sampai mahasiswa. Di sisi lain, reaksi ini dinilai terlalu berlebihan karena satu hari sebelum bencana Jepang, Kamis (10/3)terjadi banjir bandang di Kecamatan Tangse, Pidie, Aceh. Bencana ini setidaknya menelan 13 jiwa dan 4 orang masih dinyatakan hilang. Banjir bandang yang terjadi pada kamis malam ini meluluhlantakkan infrastruktur daerah tersebut dan sangat membutuhkan bantuan dari segi material untuk menunjang sementara kehidupan masyarakat sekitar. Selain itu, evakuasi masih sulit dilakukan mengingat alat berat yang digunakan untuk membersihkan lumpur dan mengevakuasi korban hanya dua buldoser saja. Bencana ini diliput beberapa kali dalam stasiun tv swasta hingga siang hari sebelum perhatian Indonesia teralih oleh bencana dahsyat yang menimpa Jepang sekitar pukul 14:40 WIB. Berkenaan dengan peristiwa ini, sangat disayangkan sikap masyarakat Indonesia yang justru berlomba-lomba menggalang dana dan menyampaikan reaksi belasungkawa terhadap Jepang yang berlebihan namun melupakan apa yang sedang terjadi dengan tanah air sendiri. Dalam hal penanganan bencana Indonesia memang belum sesigap Jepang. Indonesia harus banyak belajar dari Jepang. Namun, sangat disayangkan kekaguman akan kesigapan dan belasungkawa atas Jepang membutakan tentang apa yang sedang terjadi dengan negeri sendiri. Sebagai insan berpendidikan, reaksi mahasiswa beberapa perguruan tinggi Indonesia sangat disayangkan akan bencana yang menimpa Jepang tanpa dibarengi dengan reaksi belasungkawa terhadap bencana Indonesia. Sungguh sangat tak pantas, mahasiswa yang mengusung panji berembel-embel “untuk rakyat” namun pengertian pengabdian yang dibawanya masih suram dan tak berarah. Tidak selayaknya mahasiswa sebagai garda depan pembelaan terhadap hak rakyat lebih memilih memperhatikan negara yang sudah dengan sangat jelas dapat bangkit dari bencana sekaliber gempa dan tsunami dengan mudah. Dibandingkan Jepang, kemampuan Indonesia dalam tanggap bencana tentu tidak ada secuilnya. Menengok pada sejarah, ketika gempa berkekuatan 8.4 SR dan tsunami menerjang Aceh 7 tahun silam, hanya dalam hitungan jam saja, jumlah korban sudah meningkat secara eksponensial. Total korban tewas menembus angka 150.000 jiwa dan belum lagi jumlah jiwa yang hilang. Wakil presiden Indonesia periode itu, Jusuf Kalla, memutuskan untuk menjadikan satu tahun 2005 sebagai tahun berduka untuk Aceh. Sudah waktunya warga Indonesia bangga dengan sejarah dan membangun Indonesia. Indonesia yang dinilai terpuruk dalam berbagai sisi dan krisis multidimensi tak akan bisa menjadi disiplin seperti Jepang jika tidak diniatkan untuk berubah. Dibutuhkan waktu yang lama untuk bisa memenuhi harapan indah tersebut, namun, selama keyakinan dan niat tulus untuk menyejahterakan negara Indonesia tertanam dalam hati, maka tidak ada yang mustahil. Kapanpun waktunya, pasti akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H