Tiba-tiba saja aku mencintai petir lalu merindukannya setelah kemarin berhasil mencatat kilatannya
Namun hujan tak datang walau aku sebenarnya kelelahan berjalan di jalur letih ini
Kini pantang bagiku menangis
Di tempat yang jauh dari rumah, di bawah lampu merkuri yang cahayanya redup
Aku menyemai hangatnya getir yang tumbuh lama di ladang lemah imanku
Kini pantang bagiku menyerah
Di Gununggede Kawalu, satu-persatu keringat jatuh membasahi raga ringkih
Jauh kulihat mimpi pergi meninggalkan rumah-rumah sepi
Kini pantang bagiku mundur
Sesuatu kupungut dari wajah istriku yang kini sudah mulai lelah
Aku menggenggamnya erat sehingga aku mampu menjaganya sampai akhir hidup
Kini pantang bagiku melepasnya
Langit pekat seperti segelas kopi Lubuklinggau yang kuseduh tanpa gula
Pahitnya hanya di lidah sakitnya hanya di rasa aku menikmatinya
Kini pantang bagiku sembunyi
el, 2112 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H