“Buat berbuka nanti, kamu mau apa Bang?” Tanya Juliha kepada Karman.
“Apa ajalah asala jangan Kolak.” Jawab Karman dengan santai-surantai di atas kursi dengan koran yang sudah kadaluarsanya.
“Oh, oke deh kalau begitu. Aku mau beli itu aja ya Bang, apa tuh namanya aku lupa...”
“Apa, durian.” Karman masih dengan santai.
“Bukan, itu yang dari aren itu loh bang, namanya apa. Maklum kita udah tua ya.”
“Oh, itu namanya baling-baling.”
“Ah si Abang mah udah tua juga masih bercanda aja. Itu kolang-kaling...”
“Nah terus kolang-kalingnya mau diapain, katanya gak mau bikin kolak.” Kali ini Karman merubah posisinya. Yang tadinya duduk santai dengan korannya, sekarang jadi terbaring. Masih di bale-bale bambu yang dibelikan anaknya dua tahun lalu.
“Nanti kita bikin es campur sajalah Bang, kali-kali kita kaya orang-orang kaya gitu Bang, minum es campur.”
“Tapi orang-orang kaya mah pada pake susu sama banyak campuran lainnya. Kalau cuma kolang-kaling doang mah bukan es campur namanya...”
“Lah emang ngapa? Kita campurin aja bang, campur air sama kasih gula deh sedikit. Itu juga sama kan. Nyang penting mah ada campurannya.”
“Terserah lu aja.” Jawab Karman sembari meneruskan membaca koran.
Adzan Maghrib berkumandang. Karman masih tertidur di atas bale-balenya. Julihapun sama, tertidur di dapur setelah rampung membuatkan sayur untuk berbuka dari jam empat. Kelelahan. Anaknya memang sudah lama tidak menjenguk mereka. Sudah hampir tiga tahun setelah anak perempuan satu-satunya menikah dengan seorang pedagang siomay, anaknya belum pernah menjenguk Karman dan Juliha sekalipun.
Hati mereka sebenarnya kalut, sakit dan rindu. Anak satu-satunya yang diharapkan bisa membantu kehidupan mereka untuk menjadi lebih baik, justru malah menjadi penyebab utama keterpurukannya.
Kini mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah yang lebih tepat disebut gubuk yang berada di tengah sawah. Jauh dari tetangga. Rumahnya di pesawahan karena hanya itulah harta yang mereka punya.
Sementara itu di tempat yang jauh dari tempat Karman dan Juliha tertidur pulas, Wati anak semata wayangnya sedang bertengkar dengan suaminya.
“Nyesel gue nikah sam elu. Elu perempuan gak becus ngurus laki!”
“Maafin saya Bang...” Wati menangis. Ini entah sudah yang ke berapa kalinya. Sudah tak terhitung gamparan dan tendangan yang dilemparkan Bajuri kepadanya. Hanya karena masalah menu takjil yang tidak sesuai dengan kemauan Bajuri, Wati selalu jadi korban.
“Sudah gue bilang dari dulu, gue bosan sama semua ini.” Semua makanan takjil yang dihidang di meja diraradnya sampai jatuh di lantai dan berserakan. Bajuri menjadi lebih garang akhir-akhir ini karena dia gak dikasih lagi ijin narik angkot oleh majikannya. Bajuri prustasi dan istrinya yang jadi korban.
“Sekarang gue udah gak mau lagi lihat elu ada di rumah ini. Ini rumah gue. Elu pulang aja ke rumah enyak lu! Kita cerai!” Bajuri dengan sangat kejam menyuruh Wati pulang.
Karena ini sudah yang ke sekian kalinya maka Wati tidak bisa berbuat apapun. Lagipula dirinya juga sudah bosan dengan kelakuan suaminya yang tak pernah berhenti menyiksanya oleh karena masalah yang sepele. Wati membereskan semua pakaiannya lalu dimasukkannya ke dalam tas. Lalu pergi meninggalkan rumahnya menuju rumah ayah dan ibunya dengan uang seadanya, namun cukup untuk bisa sampai ke rumahnya. Wati menangis sepanjang jalan. Wati berpikir Mungkin segala yang terjasi ini adalah dosanya karena telah dulu telah ngotot dan memaksauntuk dinikahkan dengan Bajuri yang kala itu telah memperdayanya dengan kebohongan dan ancaman. Ya, ancaman bahwa Bajuri tak segan-segan membunuhnya jika Wati bilang ke orangtuanya kalau dia telah diperkosa di angkot oleh bajuri.
Sesampainya di rumah setelah perjalanan naik angkot dan turun ojeg, Wati menemukan ada hal yang aneh di rumahnya. Tak ada lampu yang dinyalakan. Gelap.
“Assalaamu’alaikum!!” Wati segera mengetuk pintu dan berucap salam. Ternyata pintu tidak terkunci. Wati langsung masuk, menyalakan lampu dan memanggil-manggil orangtuanya. Tapi tidak ada yang menyahut. Dilihatnya ke dapur, dan, Wati menemukan Ibunya sedang tertidur di atas lantai. Wati mencoba membangunkannya, namun ibunya tidak menjawab. Tubuhnya telah dingin. Lalu dilihatnya ayahnya yang sedang tertidur di atas bale-bale. Diambilnya koran di atas tubuh lelaki tua itu, dan, Wati pun menemukannya sudah tidak bergerak. Watipun menangis dan pingsan.
*Nyang = yang (b. betawi)
#Cersama kependekan dari Cerita Bersama, adalah even yang dibuat oleh kami yaitu Saya, Inin Nastain, vianna moenar, Rieya MissRochma dan Kayana dan Ajeng.
Elhida
130812
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H