Apa yang aku tulis di sini, adalah wujud kerinduan mendalam terhadap sosok ibu yang kupanggil Emak. Emak yang tak bisa kucium tangannya setiap hari, karena kami berada di tempat yang berbeda. Beliau di Cirebon, aku di Jakarta. Tapi aku yakin sekali, doa beliau selalu mengiringi langkahku, dalam setiap detak jantung dan nafas kehidupanku.Â
Apa yang akan kuuungkap di sini, telah terpendam lebih dari setahun. Ketika itu aku baru saja wisuda, sebagai anak pertama yang di wisuda. Aku bangga luar biasa, dan tentunya, aku juga ingin melihat kebanggaan itu di mata Emak. sempat kubuat sebentuk puisi untuknya,
Emak,Â
saat-saat pertama dalam hidupmu telah terjadi
kau telah menggendong cucu pertama dari putra sulungmu
Putri sulungmu meraih gelar sarjana
bahagiakah kau, Mak?
Â
Bagi setiap anak, ibunya adalah sosok luar biasa yang takkan pernah tergantikan. Begitupula denganku. Banyak yang bilang, wajahku persis jiplakan ibuku, dengan fakta itu tak ada keraguan kalau aku adalah anak Emakku. Meski aku adalah yang terpendek diantara tujuh bersaudara, tapi wajahkulah yang paling mirip dengan Emak.Â
"Sudah, gak apa-apa. Kamu aja dulu yang jalan-jalan, senang-senang. Nanti kalau kamu sudah kerja dan punya banyak uang, kamu bisa ajak Emak jalan-jalan nanti."Â