Mohon tunggu...
Al Amien El Faroosyah
Al Amien El Faroosyah Mohon Tunggu... -

Asli dari Kediri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Jari Kelingking Tentang Jokowi

18 November 2014   12:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:32 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana prosesi pemilu yang kadang bisa mewarnai seseorang dari sebelumnya santun menjadi pengumpat dan pemarah, turunnya harga BBM kali ini tidak selayaknya dijadikan sebagai alasan untuk mengubah perangai bijak menjadi galak. Sungguh, seandainya Allāh Swt. memutar kembali saat-saat kita dahulu mengumpat-umpat, menulis kata-kata hina di media sosial, atau merusak persahabatan disebabkan pemilu, maka tentu kita akan menjadi malu.

Berkenaan dengan pemimpin, saya pernah menulis status beberapa tahun lalu: “Seandainya tiap penduduk Indonesia diberi kesempatan sehari memimpin Indonesia, maka butuh waktu 240 juta hari atau 657.534 tahun.” Asumsinya, jumlah penduduknya tetap, setahun = 365 hari,  dan semua mau mencoba. Enam ratus ribu tahun lebih! Itu hanyalah gambaran bahwa keserakahan itu menyita waktu.

Khalid Muhammad Khalid (seorang ulama dari Mesir, sebagai gambaran kualitas, beliau mampu menghafal 30 Juz Al Qur’an dalam waktu 5 bulan) menulis dalam buku bertajuk 60 Sirah Sahabat Rasulullah mengenai kisah Abu Żar Al Gifari pada saat bertemu gubernur negeri Syam—Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Kala itu, Syam adalah negeri yang paling kaya dan paling sewenang-wenang dalam perkara pemerataan kesejahteraan. Syam dipenuhi ladang-ladang subur, bangunan-bangunan megah, dan kekayaan melimpah, terutama bagi para pemegang jabatan. Sedangkan di sekitarnya masih banyak orang-orang miskin. “Ia sampaikan kepada orang-orang itu bahwa mereka semua sama, tak ubahnya gigi-gigi yang berjajar. Tidak ada kelebihan seseorang dari lainnya kecuali dengan takwa. Pemimpin harus yang pertama kali merasakan lapar jika rakyatnya kelaparan, dan yang terakhir merasakan kenyang jika rakyatnya bisa makan.” Kalimat terakhir itu memang terdengar klasik, tapi tetap terdengar indah. Tentu saja, kebenaran akan selalu terdengar indah meskipun hanya sekedar cerita. Saya tidak tahu pasti, bisa saja pemimpin negeri ini tidak akan pernah merasakan kenyang hingga akhir hayatnya jika tekadnya seperti kalimat itu. Seandainya akhirnya ia bisa kenyang, maka ia adalah pemimpin yang dirindukan negeri ini.

Anyway, kita tidak perlu menjadi pemimpin dahulu untuk pertama kali merasa lapar jika punya saudara yang lapar; kita tidak perlu pula menjadi pemimpin dahulu untuk terakhir kali kenyang saat semua saudara kita sudah kenyang. Kebaikan-kebaikan itu tidak memerlukan predikat pemimpin untuk dilakukan. Semoga tulisan ini bisa menjadi nasihat bagi saya sendiri, syukur bila dapat menjadi inspirasi. Semoga Indonesia menjadi lebih baik.

Dan inilah akhir cerita jari kelingking tentang Jokowi. :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun