Hari ini, hampir genap empat bulan berlalu sejak Juli 2014. Pagi hari waktu itu, saya mengamati pagi yang segar di tepi teras laboratorium (begitulah ia menamai dirinya sendiri: Laboratorium Rohani Masjid Salman ITB). Menatap ke arah utara, mata beradu dengan Jalan Tamansari yang masih lengang pada pagi ke-21 bulan Ramadan. Pohon-pohon besar di kiri kanan jalan tidak bergerak sama sekali. Hanya burung-burung kecil yang sepertinya riang menyambut sinar matahari.
Tidak tahu harus melakukan apa lagi, saya mengambil telepon genggam dari saku celana. Cahaya sekitar sudah cukup terang untuk mengambil gambar jari kelingking tangan kiri saya. Untuk apa? Untuk tulisan ini. Maka tulisan ini sebenarnya ditulis dalam rentang waktu yang panjang. Serta, tulisan ini agak panjang sehingga tidak perlu dibaca sekali habis. Apa pentingnya pula jari kelingking tangan kiri? Jarinya sendiri tidak penting. Yang penting adalah kukunya. Kuku jari itu menyimpan tanda tinta. Bukan salah tulis—bukan tanda t(j)inta—karena tanda yang satu itu letaknya di jari manis. Ya kan? (:P). Tinta pada kuku itu sudah kabur warnanya. Pada bagian pangkalnya, ada bagian yang sama sekali bersih dari tinta. Bagian yang bersih itu adalah kuku yang baru tumbuh. Tentu saja ia tak terkena tinta, karena saat dicelup tinta ia belum ada. Yang terbayang di benak saya saat itu adalah fakta bahwa sedikit demi sedikit, meskipun misalnya tinta itu tak bisa dihapus, maka ia akan hilang seiring dengan ritual potong kuku setiap pekan. Kuku yang bertinta, akan digantikan oleh yang baru tumbuh dari pangkalnya. Bersih.
Demokrasi hanyalah urusan dunia. Lama-kelamaan ia akan sirna sebagaimana tanda yang ia pakai: tanda tinta.
Memang sedikit melodramatis, tapi biarlah. Toh, itu adalah kali pertama dalam hidup saya ikut pemilu setelah bertahun-tahun sebelumnya saya tak pernah urun suara. Beberapa pekan setelahnya, diumumkanlah presiden terpilih yang akan memimpin Indonesia hingga 2019. Pengumuman itu melegakan, karena mengakhiri (setidaknya, banyak mengurangi) cekcok orang-orang di media sosial masing-masing. Si ini curang, si itu pakai money politic, di sini duda berkuda, di situ capres boneka. Argumen-argumen itu berkurang signifikan. Sebagian tertawa, sebagian lagi kecewa. Beberapa yang mendukung presiden terpilih berucap syukur dengan khidmat, sementara sebagian dari pendukung itu pongah menepuk dada. Di seberang, ada orang-orang kecewa yang masih bersikap santun—menyadari sepenuhnya bahwa yang mereka lakukan adalah usaha semata. Hasilnya sudah ditentukan oleh Yang Mahakuasa. Sebagian lain yang kecewa, tak henti-hentinya berkicau membuka aib kubu pemenang. Bisa jadi, waktu itu kita memang salah dan lupa. Semoga dosa-dosa kita diampuni-Nya.
…
Pagi ini, udara segar dan masih gratis. Setelah semalam kemarin banyak yang mengabarkan kenaikan harga BBM, saya menjumpai berita penurunannya kembali. Premium turun harga dari Rp 6.500,00 menjadi Rp 4.250,00; Solar turun dari Rp 5.500,00 menjadi Rp 3.750,00. Penurunan harga tersebut berlaku mulai 26 November 2014 dan harga baru tersebut berlaku untuk setengah liter. Alhamdulillah, menenangkan sekali beritanya. d^.^
Tempo hari, ketika harga premium Rp 4.500,00 per liter, tarif angkutan kota di Bandung adalah Rp 1.500,00 untuk jarak dekat (atau Rp 1.000,00 dengan metode pembayaran “langsung kabur setelah bayar”). Ketika harga premium naik menjadi Rp 6.500,00 per liter, raja jalanan ini menempelkan stiker pada kaca jendela: Tarif Jarak Dekat Rp 2.000,00. Setelah stiker tersebut bertebaran, tidak dijumpai lagi penumpang yang membayar menggunakan selembar kertas bergambar Kapitan Pattimura, sekeping logam bercetak angklung, atau kombinasi-kombinasi lain pengganti nominal Rp 1.000,00. Hingga saat tulisan ini ditulis, belum diketahui lagi revisi stiker yang sudah tertempel di kaca jendela angkutan kota. Saat kenaikan harga itu pula, makanan bernama bala-bala (alias ote-ote, pia-pia, weci, atau heci) mengalami dilema: naik harga atau turun ukuran. Tempe yang digoreng berbalut adonan tepung, saat itu mengalami krisis jati diri. Akibat penurunan ketebalan tempe hingga menjadi ≤ 1 milimeter, ia menjadi lebih mirip keripik tempe melempem dibanding identitas aslinya sebagai tempe mendoan. Lagi-lagi, hingga saat tulisan ini diketik, belum diketahui nasib keripik tempe melempem tersebut setelah adanya penurunan harga BBM semalam tadi.
Dirilis oleh liputan6.com (http://bisnis.liputan6.com/read/2133484/10-alasan-kenapa-jokowi-harus-naikkan-harga-bbm), setidaknya ada 10 alasan penurunan harga BBM menjadi Rp 4.250,00 dan Rp 3.750,00 per setengah liter. Alasan tersebut beragam: (1) karena Indonesia adalah salah satu negara yang paling boros dalam mengalokasikan dana subsidi energi di Asia, (2) subsidi BBM menyebabkan konsumsi dan impor minyak melonjak sehingga terjadi defisit perdagangan migas, (3) 53 % dari total subsidi BBM—setara Rp 210.000.000.000.000,00 (karena nolnya banyak, untuk memudahkan, bisa diurutkan cara bacanya dari ribu, juta, miliar, triliun :P)—hanya dinikmati pengguna mobil pribadi saja, (4) Indonesia sudah tidak lagi kaya minyak sehingga cadangan minyak diperkirakan akan habis 12 tahun mendatang, (5) Indonesia menjadi importir minyak sejak 2013 karena produksi menurun sedangkan konsumsi terus meningkat, (6) tren pemberian subsidi BBM telah ditinggalkan oleh banyak negara, (7) negara-negara yang kaya minyak berencana menaikkan harga minyak secara bertahap sesuai harga pasar, (8) anggaran subsidi energi sangat timpang dengan anggaran pembangunan infrastruktur kesehatan dan pemberantasan kemiskinan, (9) pendapatan sektor migas tak cukup untuk menutup ongkos subsidi energi, dan terakhir, (10) BBM murah menghambat tumbuhnya energi alternatif seperti gas alam, panas bumi, dan bioenergi.
Karena ada 10 alasan itu, harga BBM harus turun. Sejalan dengan itu, pernyataan berikut boleh jadi akan timbul:
- apabila setelah penurunan harga BBM Indonesia tetap menjadi negara paling boros dalam mengalokasikan dana subsidi energi di Asia, maka Indonesia pasti, sedang, dan tetap sakit,
- jika harga BBM turun lalu konsumsi dan impor minyak melonjak sehingga tetap terjadi defisit perdagangan migas, maka Indonesia pasti salah asuhan,
- seandainya BBM turun harga lantas 53 % dari total subsidi BBM masih hanya dinikmati pengguna mobil pribadi saja, maka pengguna mobil pribadi di Indonesia adalah sinting,
- semisal BBM harganya turun kemudian Indonesia ternyata tetap kehabisan minyak 12 tahun lagi, maka kita adalah makhluk-Indonesia yang konyol karena tidak bisa berhemat,
- umpama harganya BBM turun, sesudah itu Indonesia tetap mengimpor minyak besar-besaran dan konsumsi minyak terus meningkat, maka strategi penurunan harga BBM ini tidak efektif,
- ketika BBM turun harganya sedangkan setelahnya tiba-tiba banyak negara lain yang ramai-ramai memberikan subsidi BBM, maka sepuluh alasan penurunan harga BBM ini berkurang satu karena keliru,
- bilamana turunnya harga BBM saat ini diikuti oleh tidak dinaikkannya harga minyak oleh negara-negara kaya minyak, maka alasan nomor 7 di atas hanyalah paranoia dan kesalahan perkiraan,
- andai saja seiring dengan harga BBM turun tetap terjadi ketimpangan subsidi energi dengan anggaran pembangunan infrastruktur kesehatan dan pemberantasan kemiskinan, maka keputusan turunnya harga BBM adalah aksi yang tidak konsekuen dari pemerintah Negara Indonesia,
- ketika penurunan harga BBM sudah dilakukan namun pendapatan sektor migas masih tak juga cukup untuk menutup ongkos subsidi, maka jangan sekali-kali lagi mengeluarkan alasan nomor 9 untuk menurunkan harga BBM (atau kalau ternyata besok-besok dipakai lagi, artinya pemerintah sudah gila),
- saat terjadi harga BBM turun lalu tidak diiringi tumbuhnya energi alternatif, maka (1) ilmuwan di Indonesia sudah sakit pikiran, atau (2) energi alternatif memang sengaja dikebiri supaya rakyat Indonesia makin sengsara.
(perlu ditekankan bahwa maksud dari frasa harga BBM turun atau yang senada dengan itu adalah sebagaimana peristiwa turunnya harga premium dari Rp 6.500,00 per liter menjadi Rp 4.250,00 per setengah liter)
…
Apapun yang terjadi, tentulah sudah menjadi rencana Allāh Swt. Peristiwa berkenaan dengan minyak ini tetaplah harus disikapi dengan bijaksana. Bolehlah kita mulai mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dengan bersepeda atau berjalan kaki. Bila setelah sekian lama tarif BBM turun namun transportasi publik tetap buruk, bolehlah kita bersama-sama kirim surat keluhan sepekan sekali pada Presiden Jokowi. Saya sendiri sebenarnya tidak tahu “sekian lama” itu terhitung berapa lama dari saat ini karena Presiden Jokowi sendiri tak memberi kepastian “kapan sarana transportasi umum menjadi sebaik yang ada di Jepang, Singapura, Jerman, Prancis, Malaysia, atau negara-negara lain yang transportasi umumnya bisa diandalkan”. Sekali lagi, boleh berkirim surat sepekan sekali, rutin—istiqamah, seperti yang dilakukan tokoh Andy Dufresne dalam film Shawshank Redemption.