Apa yang terlintas dibenak kita ketika melihat kegaduhan?
Belakangan ini marak terjadi aksi unjuk rasa di berbagai daerah Indonesia akibat aksi unjuk rasa mengenai RUU Cipta Kerja Omnibus Law. Pendemo berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa, buruh, dan masyarakat umum. Dan seperti kebanyakan aksi unjuk rasa yang terjadi yang umumnya menimbulkan kerusuhan. Saya jadi teringat sewaktu masa kuliah ketika saya menjadi salah satu partisipan pengunjuk rasa dalam kasus kenaikan BBM kala itu.
Kebanyakan orang yang ikut dalam aksi unjuk rasa, tawuran, atau berbagai jenis kegaduhan sosial itu bukan karena benar-benar peduli untuk membuat perubahan yang bermanfaat, tapi lebih cenderung karena tidak enak hati jika tidak bergabung dengan dalih solidaritas.Â
Sementara orang yang benar-benar punya rasa aware dari setiap tindakan dalam aksi tersebut cenderung menjadi orang yang menjadi kendaraan pemilik kepentingan. Setidaknya itu yang saya pahami dari kegiatan unjuk rasa Kenaikan BBM yang pernah saya ikuti dulu, ditambah efek dari unjuk rasa kala itu ternyata tidak membuahkan hasil nyata dan harga BBM tetap naik.
OK, sebagian mungkin bakal berfikir untuk membantah pernyataan diatas karena dalam konteks aksi-aksi yang belakangan terjadi secara langsung karena menyangkut kepentingan masyarakat umum khususnya pekerja karena memang dalam poin-poin yang dijabarkan dalam RUU Cipta kerja memberikan efek langsung.Â
Namun berkaca dari pengalaman pribadi mengenai cara yang dilakukan demonstran dan mempertimbangkan kesadaran nurani terhadap kenyamanan publik membuat kegiatan tersebut boleh dikatakan tidak bermanfaat malah cenderung merupakan perusakan dan pemborosan.
Yang ironis itu adalah saudara-saudara dari kalangan pelajar dan mahasiswa yang notabene hak dan kewajiban utamanya ialah menyelesaikan studi. Dengan dalih fungsi kontrol sosial "ala Mahasiswa Tempo Dulu", mereka ikut meramaikan kegaduhan seolah tidak mau kehilangan gengsi status kontrol sosial tersebut di masyarakat.Â
Jujur saja ini juga salah satu faktor yang memicu kami dalam kasus Kenaikan BBM kala itu tetap melakukan unjuk rasa, walapun sebagian besar dari kami dalam kegitan tersebut sadar bahwa hal tersebut lebih cenderung aksi hoga-hoga dan pembuktian diri dari pada kegiatan untuk menimbulkan kebermanfaatan yang nyata.
Lagi pula seperti yang dikatakan Bapak Mahfud MD," Itu masih RUU(Rancangan Undang-Undang). Kalau ada yang keliru, ke DPR saja agar diperbaiki. Bahkan setelah menjadi UU masih bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kalau menunggu semua orang setuju, kita tidak akan pernah membuat UU. Ya sudah buat saja dulu, nanti dibahas di DPR, begitu aturannya." termuat dalam dalam artikel BBC Indonesia Selasa, 6 Oktober 2020 yang lalu.
Niat dan tujuan para demonstran masih dalam ranah yang patut ditanggapi, namun dampak dari cara yang dilakukan mengganggu kenyamanan khalayak umum dan sudah ketinggalan jaman. Seandainya kita bisa lebih terbiasa dengan cara yang lebih kondusif dan efektif untuk menyatakan aspirasi, apa lagi untuk ranah yang masih merupakan rancangan, sepertinya terlalu berlebihan jika kita sebagai masyarakat langsung mengambil tindakan yang canderung anarki.
Sebenarnya semenjak 2017 sudah ada sebuah website resmi yang bisa digunakan semua elemen masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya. Kanal tersebut adalah Rumah Aspirasi.
Salam damai sodara-sodaraku semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H