Akan tetapi, bagaimana ada pihak lain yang berusaha menggangu marwah dan ingin mencopot "jantung" hakim? Apakah pernyataan di atas masih ada relevansi? Ambil contoh, seseorang secara kasat mata merampas properti kita. Di dinding, terpampang tongkat pemukul baseball. Begitu mudah sang pemilik properti mengambil tongkat itu, pula kesempatan untuk menghantamkannya kepada si perampas. Dengan alasan tidak ingin main hakim sendiri, pemilik membiarkan perampas lolos dari jangkauannya, lalu melapor polisi. Mengapa tidak melumatkan tongkat itu, buat si perampas pingsan, lalu lapor polisi?
Padahal siapapun yang menggeluti hukum tata negara pasti paham, sejak amendemen konstitusi tahun 2002 lalu, desain ketatanegaraan tidak lagi mengenalkan superioritas antar lembaga negara. Presiden, DPR, dan lembaga kekuasaan kehakiman sederajat. Di antara lembaga tersebut tidak mempunyai hubungan hierarkis. Bangunan yang muncul adalah saling mengontrol. Ihwal apa-apa yang dikontrol pun terikat pada pembatasan yang disediakan konstitusi. Artinya, tidak diperkenankan menggunakan kekuasaannya selain dari apa yang diperintah konstitusi. Ini konsekuensi logis dari dianutnya doktrin constitutional democratic state. Dalam posisi demikian, yudikat mestinya dapat membuat tameng sendiri.
Khusus lembaga yudikatif, misalnya, Basic Principles on the Independence of the Judiciary telah merumuskan suatu pesan, bahwa selain independensi peradilan harus ditegaskan oleh hukum, pula ada keharusan setiap lembaga lain untuk menghormati independensi peradilan itu. Bagaimana jika ada lembaga lain (di luar peradilan) bersikap tidak hormat terhadap independensi peradilan? Apakah "si tuan rumah" tetap pada pendiriannya: cukup berbicara lewat putusan? Saya sepenuhnya yakin, dari lubuk hati paling dalam sembilan negarawan mafhum tentang hal ini. Lantas, mengapa yang muncul pernyataan seperti di atas? Entahlah, jawabannya tidak mudah ditelusuri, dia ada dalam benak psikologis para hakim.
Bandingkan, misalnya, dengan apa yang pernah dilakukan Denny Indrayana. Isu "bocoran putusan" direspon dengan sangat serius oleh MK melalui konferensi pers. Bahkan, hakim Saldi Isra ketika itu, dalam satu pernyataanya menganggap apa yang dilakukan Denny merugikan Mahkamah secara kelembagaan. Jika boleh bertanya, mengapa hal serupa tidak dilakukan pada kasus Aswanto? Padahal, ancaman bagi kelembagaan tidak kalah serius.
Mesin waktu memang tak mungkin diputar kembali. Namun seandainya ada dua "jika" berikut, paling tidak akan menunjukan mahkamah adalah institusi yang tidak mengizinkan siapapun berlaku tidak hormat atas dirinya. Pula kesan publik ada institusi lain yang berusaha mengobrak-abrik yudikatif tidak muncul: pertama, jika saja pembelaan kasus Aswanto berwujud. Misalnya, dengan menjelaskan kembali secara detail kepada DPR dan Presiden apa sebetulnya maksud dari surat yang dikirimkan ke DPR tertanggal 22 Juli 2022 yang menjelaskan ihwal putusan 96/PUU-XVIII/2020 itu. Kedua, jika MK melakukan hal sama dengan Charles Evans Hughes, Ketua Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat.
Sekitar tahun 1937 Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat, mengajukan Judiciary Reorganization Bill 1937. Di antara isi dari rancangan undang-undang (RUU) tersebut, mempensiunkan hakim yang telah berusia 70 tahun, dan mengizinkan Presiden untuk menunjuk siapa saja yang menurut Presiden pantas menjadi hakim pengganti. Dalam konteks politik, usulan Roosevelt atas RUU sebenarnya bertujuan untuk menyingkirkan hakim-hakim konservatif yang kebetulan telah berusia 70 tahun, dan menunjuk hakim yang menurut Roosevelt lebih progresif. Alasannya, karena para hakim konservatif ini telah banyak berkontribusi membatalkan undang-undang yang menjadi program utama Roosevelt. Perlu diberi catatan kaki, undang-undang buatan Roosevelt tersebut telah berhasil membawa kepuasaan bagi banyak warga Amerika ketika itu. Karena itu, guna menghindari ada lagi undang-undang yang dibatalkan oleh para hakim konservatif, judiciary bill diusulkan ke kongres. Hughes, yang kebetulan hakim konservatif, mengirim surat resmi kepada kongres. Isinya, ketegasan bahwa pengadilan adalah lembaga independen, sebagian besar judiciary bill harus ditolak. Menurut keyakinan Hughes, MA tidak perlu direorganisasi. Singkatnya, kongres tidak melakukan pembahasan judiciary bill. Ambisi Roosevelt untuk menggguncang MA padam.
Ketegasan Hughes, bahwa independensi pengadilan patut dicatat dan menjadi pelajaran bersama. Sikap Huges juga bisa dimaknai pembelaan terhadap pihak manapun yang berusaha menggangu mereka. Muncul di depan publik, lalu menegaskan bahwa yang namanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah barang mahal sekaligus sakral. Hanya dalam institusi tersebut seseorang bisa dipulihkan hak-haknya -- sekalipun, harus diakui, dalam beberapa kasus ada juga putusan pengadilan yang mengundang kontroversi.
MK harus tampil membela sekaligus mempertahankan wibawa pengadilan. Apalagi dalam kondisi ke-kini-an, "Aswantoisasi" sedang digarap oleh DPR dalam RUU perubahan MK yang baru. MK, sebenarnya, punya kekuaatan besar untuk itu. Dasarnya ada di dalam Pasa 24 ayat (1) UUD NRI 1945, "kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan guna menegakkan hukum dan keadilan". Kami, sebagai warga biasa, tidak menginginkan lagi peristiwa yang mencoreng Mahkamah terulang. Kami ingin Mahkamah menjaga konstitusi tidak hanya melalui putusannya. Namun juga muncul dengan sikap negarawan. Merusak kemerdekaan kehakiman, berarti pula mencoreng konstitusi. Sebab, seperti kata Jutta Limbach (2001), keberadaan MK adalah tanda negara menganut supremasi konstitusi. Bagaimana jika ada pihak lain mencoreng Mahkamah, tapi bahkan dalam diri MK sendiri tidak bersikap untuk menolak? Apakah cukup hanya dengan pembelaan kami dari warga biasa?
Doa
Dalam suasana perayaan dua dekade, harapan untuk MK sebagai forum penegakkan hukum dan keadilan masih sangat tinggi. Saya jadi teringat ucapan dari I Dewa Gede Palguna dalam suatu seminar. "Katakanlah tiada satu lembaga negara lagi yang punya tingkat kepercayaan tinggi, namun bilamana satu ini (pengadilan) masih merdeka, kita masih ada harapan", begitu terangnya. Akhirnya, semoga MK tetap memiliki keteguhan dalam mengawal konstitusionalisme.
"Ya Tuhan kami, mudahkan dan kuatkan para sembilan negarawan kami dalam memegang janjinya untuk melindungi konstitusi. Hanya dengan wasilah konstitusi, hak-hak kami untuk mengabdi kepada-Mu dapat terlindungi. Jika ada keraguan dalam hati para sembilan negarawan untuk membela, hilangkan lah. Kami ingin mereka benar-benar menjelma wakil-Mu di muka bumi. Menegakkan kata adil sebagaimana Engkau maktubkan dalam kitab suci. Tugasnya sangat berat. Kemerdekaan, baik individu maupun lembaga, adalah jantung. Sehatkan lah. Hambatlah bagi siapa saja yang berusaha memotong urat nadi Mahkamah kami".