Mohon tunggu...
Miftah Faried Hadinatha
Miftah Faried Hadinatha Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Miftah Faried Hadinatha adalah seorang anak yang dilahirkan di Kota Bangun. Aktif dalam berbagai kegiatan akademis maupun non-akademis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Empat Lustrum Denyut Mahkamah Kita: Surat untuk Sembilan Negarawan

20 Juli 2023   13:11 Diperbarui: 20 Juli 2023   13:13 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Ku tuliskan kenangan tentang caraku menemukan dirimu"

Virgoun -- Surat Cinta Untuk Starla

 

Kalau membaca secara saksama seluruh ketentuan dalam UUD NRI 1945, terutama pada wilayah persyaratan agar seseorang bisa duduk pada jabatan lembaga negara, Mahkamah Konstitusi (MK) adalah satu-satunya institusi yang mengharuskan seseorang menyandang predikat negarawan sebelum secara resmi memakai jubah "merah-kehitaman". Mungkin karena satu-satunya itu, sampai sekarang kita masih kesulitan mencari-cari apa makna di balik kata negarawan itu. Jimly Asshiddiqie (2018) mengartikan, status negarawaran dilihat bilamana seseorang tidak lagi mementingkan urusan pribadinya, semua harus melebur untuk kepentingan bangsa. Subiyanto (2019) mencatat, derajat negarawan akan nampak dengan cara memastikan proses seleksi yang transparan dan akuntabel.

Apapun itu, karena satu-satunya, kata negarawaran memiliki arti yang sulit diwakilkan dengan kata-kata. Bagi saya, negarawan berhubungan dengan jantung kekuasaan kehakiman antara lain: merdeka, independen, akuntabilitas, dan imparsialitas. Tidak dapat terbayangkan, kengerian macam apa yang akan terjadi, kalau semua kompenen tersebut diamputasi. Constitutional democratic state hanya menjadi utopis belaka. Karena itu, sikap negarawan sembilan hakim konstitusi akan teruji bilamana berhasil menjaga serta menjunjung tinggi semua komponen tersebut. Mengapa? Karena tugasnya tidak tanggung: menjaga, merawat, dan menghidupkan konstitusi sebagai hukum tertinggi, pula memulihkan hak asasi masyarakat.

Hidup dua puluh tahun, tentu, mengalami pasang surut. Ada hari-hari di mana MK dipuji bak Themis, sang dewi keadilan. Tidak jarang pula MK mendapat beragam catatan miring. Paling tidak, dalam tahun ini, kasus perpanjangan komisioner KPK dan soal putusan pemilu sistem terbuka mengonfirmasi hal itu. Terlepas beragam tanggapan, usia empat lustrum patut disyukuri. Kejadian masa lalu biar lah menjadi ikhtibar buat pertarungan menjaga konstitusionalisme menuju satu abad Indonesia. Dalam mengisi perjalanannya, harus diingat kembali apa yang pernah disampaikan hakim pertama MK, Abdul Mukhtie Fadjar "MK harus hati-hati, jika tidak alih-alih menjaga konstitusi, malah menjadi penjegal konstitusi". Maka, dalam perayaan MK Republik Indonesia, ada surat kecil yang akan dikirimkan. Suratnya berisi lafaz doa, serta pesan-pesan singkat.

Melindungi Mahkota

Kasus Aswanto adalah luka yang belum kering. Luka ini membawa ingatan kepada kasus korupsi yang (dulu) pernah menghantam Mahkamah kita. Sekalipun telah dijahit, bekasnya masih nampak. Kasus-kasus tersebut, sekalipun berbeda, membawa pada satu benang merah: menciderai marwah pengadilan. Mungkin ini lah alasan the 6th Indonesian Constitutional Court International Symposium yang diselenggarakan MK Agustus 2023 mendatang bertajuk, "Constitutional Court and Judicial Independence: A Comparative Perspective". Mengajak para ilmuwan untuk datang dan mengemukakan gagasannya, bahwa indepensi lembaga peradilan adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar, apalagi diganggu gugat.

Dalam kasus yang terakhir, yaitu pencopotan Aswanto, ada hal yang mengecewakan: MK tidak membuat pernyataan atau melakukan pembelaan bahwa apa yang dilakukan DPR dan Presiden terhadap Aswanto adalah bentuk pelanggaraan konstitusi. Sepanjang pelacakan penulis, kasus Aswanto adalah satu-satunya di dunia. Dalam konstruksinya, hakim hanya akan dicopot karena alasan administrasi, etik, serta perilaku tercela. Korupsi contohnya.

Anwar Usman, sekaligus ketua MK, mengutarakan, bahwa hakim hanya akan berbicara melalui putusan (kompas.com, 23 November 2022). Sikapnya yang demikian memang benar, lebih-lebih bagi seorang hakim. Hakim tidak boleh ikut campur dalam urusan politik. Hakim tidak boleh mengadili dirinya sendiri. Hakim tidak pantas terlibat dengan hal yang di luar kekuasaannya. Hakim adalah penegak keadilan. Hakim menegakkan konstitusi dan "membunuh" orang hanya dengan putusan yang dibacakan di depan umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun