Wacana tuntutan Otonomi Khusus Kaltim bergulir saat diketahui bahwa pada Ta 2015 ini, Provinsi Kaltim dan Kab Kutai Kartanegara tidak didukung DAU oleh Pemerintah Pusat. Setidaknya ada 6 ( enam ) masalah yang melatar belakangi munculnya tuntutan Otsus Kaltim yaitu : (1) SDA Kaltim yang berlimpah, namun tidak sebanding dengan dana perimbangan yang didapatkan ; (2) Posisi Kaltim sebagai “Heart of Borneo” ; (3) Persoalan perbatasan negara ; (4) Sejarah ; (5) Kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan (6) Luas wilayah dan ketertinggalan infrastruktur. Alasan-alasan tersebut selalu dikemukakan oleh Pejabat Pemda Kaltim untuk menarik dukungan baik dari internal Pemda, komponen masyarakat maupun anggota legislatif daerah dan pusat yang berasal dari Kaltim.
Tidak adanya keterwakilan dari Kaltim pada penyusunan Kabinet Kerja, menimbulkan kekecewaan sebagian elite Kaltim, hal ini menunjukkan bahwa cara berfikir dari oknum pejabat Kaltim cenderung sempit dalam menyikapi dinamika politik Nasional. Padahal semestinya para elite politik tersebut menyadari dan turut memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pemilihan Menteri adalah hak prerogatif Presiden, untuk menjamin kemakmuran dan kesejahteraan Bangsa Indonesia. Dengan demikian keterwakilan dari suatu daerah bukan merupakan suatu keharusan dalam penyusunan Kabinet, agar tidak timbul kekecewaan dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam tahun 2017, pengelolaan blok Mahakam yang selama ini dipegang oleh asing Total, akan selesai. Keinginan Propinsi Kaltim dan Kab. Kutai kartanegara untuk terlibat dalam pengoperasionalan blok Mahakam dalam bentuk PI (Participation Interest) sebesar 10 %, untuk menambah APBD guna membiayai pembangunan, memang perlu diapresiasi dengan baik. Hal yang dikhawatirkan, apakah dana 10% tersebut sanggup dipenuhi oleh Pemda Kaltim dan Kab Kutai Kartanegara. Bila hal tersebut tidak mampu dipenuhi, kemungkinan akan ada broker yang ikut terlibat dalam pembiayaannya. Terlebih adanya keinginan untuk PI sebesar 30%, hal ini tentunya tidak akan mungkin terpenuhi, dan diduga hanya keinginan emosional. Disisi lain patut dicermati bahwa APBD Kaltim pada tahun 2014 sebesar Rp 13 Trilyun lebih, dan SILPA yang ada cukup besar yaitu sebesar Rp. 1,8 Trilyun, hal tersebut menunjukkan kurang optimalnya SKPD terkait dalam menggunakan anggaran yang sudah dinilai banyak tersebut. Dimungkinkan bila dalam program-program yang dibiayai APBD berjalan lancar dengan didukung dana program maksimal maka, ketertinggalan infrastruktur Kaltim dapat terkejar secara bertahap.
Secara umum hingga saat ini tuntutan Otsus Kaltim masih sampai di tingkat elite, belum mengakar ke masyarakat luas. Meskipun beberapa pejabat Bupati telah menyuarakan agar masyarakat memberikan dukungan, namun tidak sedikit Pejabat yang tidak sependapat dengan tuntutan Otsus tersebut. Hal ini mengesankan bahwa esensi Otsus adalah hanya untuk memperbesar kewenangan sekumpulan politisi. Adanya dugaan, ya masih bersifat dugaan, bahwa Otsus merupakan salah satu pengalihan isu, terhadap janji-janji politik Pejabat Daerah saat kampanye yang hingga saat ini belum dapat terealisir dengan maksimal.
Selanjutnya, Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, pernah mengatakan bahwa Pemprov Kaltim berharap mendapatkan porsi saham 19 persen dari Blok Mahakam. Angka tersebut dinilai sudah menguntungkan dari perhitungan skema pembagian porsi saham. Perkiraan pembagian saham yang diperhitungkan adalah 70 persen untuk Pertamina, dan 30 persen untuk Total. Sehingga, jika 19 persen dialokasikan untuk Pemerintah Daerah, maka masih ada 51 persen saham yang dikuasai Pertamina. Terkait pembagian dengan Pemkab. Kukar dari total saham Pemda, Pemprov Kaltim berharap dapat 60 persen dan Kabupaten Kutai Kartanegara 40 persen. Alasannya karena pengembangan sumur baru sudah melewati batas, yakni lebih dari 4 mil dari garis pantai, sesuai Undang - Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pertambangan di bawah 4 mil dari garis pantai menjadi milik pemerintah kabupaten atau kota. Sedangkan untuk pertambangan di lepas pantai antara 4 – 12 mil menjadi milik pemerintah provinsi.
Selanjutnya menurut sepengetahuan saya, dalam mengelola 19 persen saham tersebut Pemprov Kaltim melalui Perusda PT Migas Mandiri Pratama (MMP) akan menggandeng investor swasta PT. Yudhistira Bumi Energi (YBE), dengan porsi saham 80% Yudistira 20% menjadi milik Pemprov Kaltim. Seluruh pembiayaan dalam kegiatan pra kontrak 2017 nanti, dibiayai oleh Yudhistira. Setelah kontrak Total habis pada 2017, pembagian saham akan berubah menjadi 25% untuk Pemprov Kaltim dan 75% untuk Yudhistir. Sementara, Pemerintah Kutai Kartanegara mendirikan Perusda Tunjangan Parangam (TP) dengan bekerjasama dengan PT Cakrawala Prima Utama (CPU). Perusda Pemprov Kaltim PT. MMP bekerja sama dengan PT. YBE dengan membentuk perusahaan bernama PT. Cakra Pratama Energi (CPE). PT. YBE dan PT. CPU merupakan investor swasta pengelola Blok Masela (Maluku). PT. YBE, juga ikut menjadi rekanan perusahaan daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di Blok Cepu lewat PT Usaha Tama Mandiri Nusantara. Nama salah satu politisi partai berbendera "warna merah ada hewannya" dan pejabat hilir Pertamina terindikasi pernah tercatat menduduki jabatan di PT. YBE.
Jadi, perjuangan Otsus selama ini, sejatinya untuk kepentingan siapa? Masyarakat kah? Kemajuan Kaltim kah? Atau kartel bisnis para elite politik? Hanya tuhan dan tukang jual cireng yang tahu. IMHO and Correct me if i'm Wrong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H