6. Tidak ada pengecekan model transportasi ini di jalanan, termasuk diantara nya adalah: apakah mobil layak pakai, supirnya memiliki SIM, surat-suratnya lengkap, dan lain sebagainya, dengan kata lain sistem kontrol nya hampir tidak ada, terkadang ditemukan ada anak kecil yang mengendarai angkot.
Selain angkot, terdapat juga bis kota, bis kota ini sedikit agak nyaman dan ada sistem kontrol nya, akan tetapi penggunaannya masih jauh dari yang diharapkan, terkadang penumpang berdesak-desak an dalam bis, berhenti untuk menaikan dan menurukan penumpang di mana saja (tidak hanya di halte), apakah hal ini disebabkan oleh budaya kita yang malas jalan? Entahlan tampak nya perlu ada penelitian mengenai hal ini, halte-halte dibangun dan sebagian dari halte tersebut didesain untuk memberikan kenyamanan pada calon penumpang, tapi ada satu hal yang kurang yaitu ketersediaan toilet di halte, mengapa diperlukan toliet? Karena perjalanan menggunakan transportasi publik, biasa nya menguras banyak waktu di jalanan dan kebutuhan akan toilet umum terkadang sulit dipenuhi.
Apa yang terjadi selanjutnya kebanyakan dari halte tersebut menjadi kosong, karena tidak ada jadwal yang jelas kapan bis akan lewat, kalau sudah begini sudah barang tentu orang-orang akan memilih untuk menghentikan bis di dekat rumah nya saja. Begitu juga dengan halte-halte yang dibangun untuk Trans Metro Bandung (TMB) banyak dari hate yang pada akhirnya tidak digunakan dan menjadi tempat berlindung gelandangan, atau pun pengendara motor yang menghindari hujan.
Model transportasi publik lainnya adalah kereta api, kereta api ini cukup dapat diandalkan karena sudah ada jadwal tersendiri, dan terbebas dari macet, sehingga bisa memperkirakan waktu tempuh perjalanan, namun sayangnya rute dari kereta api ini memiliki keterbatasan, hal yang seharusnya sudah diantisipasi dalam hal pengembangan kota, padahal pada jaman Belanda saja, jenis transportasi ini sudah melalui pelosok-pelosok, antara lain sampai ke soreang, banjaran, ciwidey, dan Tanjung sari. Jalur Bandung-Soreang merupakan jalur yang sangat padat, seandainya jalur kereta api Bandung-Ciwidey kembali dihidupkan, mungkin akan sedikit mengurangi kemacetan di wilayah tersebut.
Sistem Transportasi Publik Terpadu
Menggunakan motor dijalanan yang macet sebenarnya kurang nyaman, apalagi jika terjadi hujan yang lebat atau pun panas yang sangat, akan tetapi tampaknya masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan moda transportasi ini. Salah satu faktor paling pokok, yang menjadi alasan pemilihan sepeda motor sebagai alat transpotasi adalah faktor efisisensi dan penghematan, jika dikalkulasi kan seorang pengguna sepeda motor yang menempuh jarang sekitar 20 Km untuk menuju tempat nya bekerja hanya memerlukan bensin sekitar ½ liter yang kalau di rupiah kan sekitar Rp. 3525,- atau sekitar Rp. 7050,- bolak balik sampai kerumah dengan hari kerja efektif selama 20 hari, maka biaya transportasi yang dibutuhkan dalam satu bulan adalah sekitar Rp. 141000,- . Bandingkan dengan menggunakan tranportasi publik, kita buat simulasi biaya yang mesti dikeluarkannya (ini hanya permisalan saja).
1. Menggunakan ojek menuju jalan Rp. 5000,-
2. Menggunakan angkot 2 kali dengan rata-rata ongkon Rp.7000 x 2 = Rp. 14.000
Maka biaya yang dibutuhkan untuk sekali jalan adalah sekitar Rp. 19.000,- untuk kembalinya lagi memerlukan biaya yang sama, sehingga dalam satu hari dibutuhkan biaya sekitar Rp. 38.000,- , dengan waktu efektif kerja 20 hari dalam satu bulan, maka biaya yang dibuthkan adalah sekitar Rp. 760000,- perbedaaan yang sangat signifikan lebih dari 5 kali lipatnya.
Ketidak ada an sistem transportasi terpadu akan berimbas pada mahalnya biaya trasnportasi, dan hal ini pula yang menyebabkan banyak pengguna jalan pada akhirnya memilih sepeda motor sebagai sarana transportasi “publik” nya, sebuah sarana transportasi publik yang disediakan karena keterpaksaaan.
Sepeda motor yang pada akhirnya berjumlah sangat banyak, akan menyebabkan kesemerawutan lalu lintas, dan pengguna sepeda motor sendiri tercatat sebagai alat trasnpostasi yang paling sering mengalami kecelakaan, penggunaan sepeda motor pun terkadang tidak di iringi dengan kebijakan-kebijakan lain yang dapat menambah faktor keselamatan, masih banyak ditemui anak-anak SMP dan SMA yang menggunakan sepeda motor ke sekolahnya, entah apakah mereka telah memiliki SIM atau belum.