Sengketa Laut Tiongkok Selatan (LTS) masih menjadi salah satu isu geopolitik dunia yang krusial hingga kiwari. Secara geografis, LTS berbatasan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Masing-masing negara ini bertindak sebagai claimant states dengan mengeluarkan kebijakan geopolitik yang saling tumpang tindih. Tujuannya ialah melegitimasi hak kedaulatan mereka atas wilayah LTS.Â
Persitegangan ini bermula sejak Tiongkok (kala itu mencakup wilayah RRT dan juga Taiwan) mengklaim hampir seluruh wilayah LTS sebagai teritorialnya. Nada asertif klaim itu diejawantahkan lewat sebuah peta yang dipublikasikan pada tahun 1947. Dalam peta tersebut, Tiongkok menghamparkan sebelas garis terputus yang membentuk huruf "U". Jumlah garis ini berkurang menjadi sembilan buah pada tahun 1952 setelah RRT bernegosiasi dengan Vietnam terkait teluk Tonkin (Institute for China-America Studies 2023).Â
Terbaru, negeri tirai bambu ini menambahkan satu lagi garis putus-putus di dalam peta wilayahnya yang dirilis pada Agustus 2023. Kira-kira 90 persen dari keseluruhan luas wilayah LTS didaku oleh RRT (Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia 2023). Meskipun terjadi perubahan jumlah, term "nine-dash line" lebih umum dikenal untuk merujuk pada garis imajiner yang menandai batas teritorial perairan RRT tersebut. Kawasan yang terkena nine-dash line dicaplok RRT sebagai bagian dari domain maritimnya.
Non-claimant states pun ikut andil dalam konflik ini. Mereka berupaya mereduksi pengaruh RRT yang dipandang dapat mengganggu kebebasan navigasi dan keleluasaan perdagangan di jalur LTS. Di antara non-claimant states yang ada, Amerika Serikat (AS) tampil sebagai negara yang paling gencar menyuarakan hal tersebut (Wiranto 2016, 65). Namun, posisi AS ini patut diwaspadai sebagai tindakan "ada udang di balik batu". Penentangan AS atas klaim RRT diwarnai oleh kepentingan ideologi. Eksistensi RRT sebagai negara Asia yang terus mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang menggonggong hegemoni AS.Â
Maka, urgen bagi AS untuk terlibat dalam konflik LTS demi menjaga kelanggengan pengaruhnya. Dugaan ini diperkuat oleh citra kedua negara adikuasa ini sebagai oposisi biner yang kerap bersitegang. Kehadiran negara Paman Sam di antara claimant states tersebut makin memperkeruh suasana. Sengketa wilayah (teritorial dispute) LTS tidak saja menimbulkan ketegangan. Namun, juga berpotensi melahirkan konflik yang lebih besar, termasuk konflik bersenjata. Hal ini dapat mengganggu kestabilan keamanan dan perdamaian global. Sebenarnya, Indonesia tidak terlibat secara langsung dalam konflik LTS.Â
Namun, keberadaan nine-dash line turut memotong wilayah maritim kepulauan Natuna. Atas dasar garis putus-putus itu, kapal nelayan RRT beberapa kali menerobos masuk ke dalam wilayah laut Natuna. Malah, tindakan ilegal tersebut disokong dengan kekuatan militer berupa pengawalan dari kapal penjaga pantai RRT (BBC News Indonesia 2020; Sahputra 2022). Padahal, kawasan pulau Natuna berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Menilik Kaitkelindan Pelbagai Faktor
Sengketa wilayah LTS tak bisa disigi dari perspektif geopolitik belaka. Faktor-faktor yang menyekitari permasalahan ini bersifat multidimensional. Kepentingan ekonomi merupakan salah satu faktor lainnya. Ada dua penjelasan primer yang menyebabkan faktor ekonomi patut diperhitungkan. Pertama, wilayah gugusan kepulauan LTS mengandung sumber daya alam yang besar, utamanya biota laut serta minyak dan gas bumi. Diperkirakan bahwa cadangan terbesar di wilayah tersebut berasal dari gas alam yang setara dengan yang dimiliki oleh salah satu negara dengan cadangan gas alam terbesar di dunia, yaitu Qatar (Djuyandi, Illahi, and Aurel 2021, 113).Â
Pada tahun 1970, ditemukan 25 triliun gas alam serta kandungan minyak bumi sebesar 213 barel di bawah LTS (Santoso 2017). Kemudian, sejak tahun 1990, para pemimpin RRT merasa resah terhadap ketersediaan energi. Tercatat bahwa kepulauan Spratly mengandung 25 miliar meter kubik gas alam dan 105 miliar barel minyak (Johannes 2023, 216). Maka, tidak heran bila RRT---dan claimant states yang lain---beratensi khusus terhadap wilayah gugusan kepulauan Spratly (dan Paracel) dibanding wilayah lainnya.
Kedua, LTS merupakan lintasan strategis yang menghubungkan rute perdagangan Asia, Amerika, dan Eropa. Jalur pelayaran internasional ini menjadi kawasan pelayaran dalam rangka ekspor-impor berbagai komoditas. Jika berhasil menguasai LTS secara sah, maka pergerakan negara luar di sana mesti mendapat restu dari RRT. Kendali aktivitas di sana akan dimonopoli oleh RRT. Untung bagi RRT dan boncos bagi negara-negara lain yang terlibat dalam kegiatan perdangan LTS.Â
Tak heran bila RRT melakukan banyak hal untuk menyatakan kedaulatannya di LTS, mulai dari pembangunan pulau reklamasi, hingga militerisasi lewat peningkatan aktivitas maupun pembangunan instalasi militer (Adi 2020). Melihat pertumbuhan signifikan ekonomi RRT, tidaklah mustahil bagi negara ini untuk kian memperkuat militernya di LTS.
Bergerak ke Pendekatan Historis-Kritis
Lantas, sudah cukupkah RRT mengambil langkah militerisasi? Apakah itu berarti perlawanan militer tidak dapat dielakkan oleh Indonesia? Nyatanya, RRT butuh lebih dari sekadar kekuatan militer yang kuat untuk mendeklarasikan kekuasaannya secara legal atas wilayah LTS yang amat luas. RRT butuh sekutu yang mendukungnya. Namun, menemukan sekutu bukanlah perkara mudah. Keberadaan claimant states dan non-claimant states dalam konflik ini merupakan bukti bahwa setiap negara punya gaya intriknya masing-masing.Â
Lagipun, ada hukum internasional yang diakui oleh setiap negara di dunia. Norma ini tidak hanya mengikat, tetapi juga membentuk semacam "moral kenegaraan" di mana sebuah negara harus menghormati negara lainnya. RRT bukanlah satu-satunya negara di dunia ini. Dampaknya, tidak ada negara yang benar-benar swasembada dan terlepas dari hubungan internasional. Setiap negara di dunia memiliki keterikatan dalam relasi global. Kita, misalnya, dapat melihat fenomena ini dalam peperangan antara "Israel-Palestina" dan "Ukraina-Rusia". Kedua perang tersebut tidak kunjung usai atau dimenangkan oleh salah satu negara, sebab ada negara lainnya yang terlibat dalam pusaran konfliknya.Â
Oleh karenanya, dalam banyak penelitian, alternatif-alternatif yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah ini acapkali berupa kerja sama (bilateral dan multilateral), penguatan ekonomi, dan ketahanan militer. Untuk alternatif terakhir, saya rasa di era modern---di mana kesadaran akan hak asasi manusia terus ditegakkan---siapa pun akan mengutuki segala hal yang dapat memunculkan konflik dan merebut nyawa orang. Selain itu, penguatan militer pun mengandaikan kondisi ekonomi yang amat kuat. Meskipun RRT mungkin memiliki ketahanan ekonomi, tetapi---sekali lagi perlu ditegaskan---RRT tidak mandiri sepenuhnya. Negara ini punya banyak investasi di luar negeri juga relasi diplomatis yang tidak bisa dilangkahi begitu saja.
Pada 2016, setelah perjalanan panjang mengajukan keberatan kepada pengadilan internasional, Filipina memenangkan sengketa ini. Mahkamah Arbitrase United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) memutuskan bahwa RRT tidak memiliki dasar hukum dari klaimnya atas LTS. RRT memang berhasil menguasai LTS dengan mereklamasi terumbu karang menjadi pulau. Namun, menurut hukum laut internasional, pulau buatan tidak diakui sebagai pulau yang dapat dijadikan patokan untuk mengukur ZEE. Jadi, RRT terbukti melanggar teritorial Filipina. Justru karena pulau buatan tersebut, RRT diberatkan dengan tuduhan perusakan ekosistem LTS. Walau keputusan ini bersifat mengikat, badan tersebut tidak memiliki kekuatan yurisdiksi untuk memaksa RRT yang menolak putusan tersebut. Namun, nama baik RRT menjadi buruk oleh putusan ini (Adi 2020).
Oleh sebab itu, melalui Kementrian Luar Negerinya, RRT memberikan klarifikasi terkait posisinya dalam sengketa LTS. Aneksasi sepihak pemerintah RRT didasarkan atas keterikatan historis dengan LTS. Menurut mereka, masyarakat Tiongkok kuno telah tinggal dan terlibat dalam kegiatan produksi di Nanhai Zhudao (sebutan RRT untuk kepulauan di LTS) sejak lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Mereka menyatakan diri sebagai negara pertama yang menemukan, menamai, mengeksplorasi serta mengeksploitasi LTS. Pemerintah RRT juga mengklaim negaranya sebagai yang pertama dan terus-menerus, menjalankan kedaulatan serta yurisdiksi atas wilayah tersebut secara damai dan efektif (Ministry of Foreign Affairs of the People's Republic of China 2016).Â
Wacana historisitas ini tidak terlalu populer di kalangan peneliti dan kadung dipandang sebagai sesuatu yang absurd. Padahal, meski bersifat tradisional dan tidak memiliki dasar hukum yang adekuat, toh RRT terus bersikukuh mempertahankannya. Menurut hemat saya, tidak baik begitu saja meremehkan klaim ini tanpa memberikan argumen yang memadai. Indonesia justru harus memberikan klaim tandingan lewat observasi historis-kritis atas wilayah LTS, utamanya laut Natuna.
RRT merasa latar belakang historis sudah cukup untuk menjadi landasan dalam menyatakan kedaulatan, hak-hak, dan kepentingannya atas LTS. Pada masa dinasti Han, awal abad ke-2 SZB, orang-orang Tiongkok berlayar dan menemukan kepulauan LTS dalam perjalanan panjang. Banyak catatan-catatan kuno yang merekam aktivitas masyarakat Tiongkok di LTS. Literatur-literatur tersebut menceritakann lokasi geografis, karakteristik geomorfologi, kondisi hidrografi, meteorologi LTS sejak tahun 25 SZB. Di dalamnya juga terdapat perubahan-perubahan nama dari wilayah (pulau, terumbu karang, teluk kecil, dll.) yang berada di kawasan LTS. Itulah sebabnya RRT menyebut bahwa penamaan "Laut Tiongkok Selatan" membuktikan bahwa Tiongkok-lah pemiliknya (Ministry of Foreign Affairs of the People's Republic of China 2016). Di sinilah kita dapat mulai memberikan catatan kritis. Terlalu naif jika klaim penamaan wilayah dijadikan legitimasi kepemilikan LTS. Data historis yang dipaparkan dalam situs Kementrian RRT tersebut hanyalah catatan-catatan navigasi penjelajahan laut. Artinya, kita tidak bisa berpegang pada data historis semacam itu. Catatan navigasi---sebagaimana namanya---hanyalah sebuah rekaman perjalanan laut. Itu tidak layak disebut sebagai bukti konkret bahwa Tiongkok pernah melakukan imperialisme atas wilayah-wilayah LTS. Bukankah cara yang lazim di masa lalu untuk mengklaim wilayah adalah dengan menjajah? RRT, misalnya, tidak menyinggung soal kejayaan imperium Inggris. Padahal, kerajaan Inggris pernah berjaya dan menguasai hampir seluruh negara di dunia. Tiongkok merupakan salah satu wilayah yang berhasil ditaklukkan Inggris. Tidak hanya Inggris, dalam sejarah tercatat pula pendudukan Jepang atas Tiongkok.
Lebih jauh, terkait kolonialisasi ini perlu diberikan catatan tambahan. Perebutan wilayah pada zaman dahulu jelas tak dapat diakui di masa kini. Dalam dinamika global, sejarah mencatat banyak sekali kesepakatan antara penjajah dan terjajah guna mengembalikan wilayah jajahan. Dahulu, ketentuan mengenai batas teritorial maritim belum diatur dengan jelas. Namun, saat ini negara-negara telah menyepakati UNCLOS sebagai konvensi hukum laut internasional.Â
Meskipun begitu, strategi klaim historis yang dilakukan oleh RRT ini menjadi sebuah wacana penting untuk dikembangkan. Apakah ZEE dan tren batas landas kontingen sepenuhnya dapat dijadikan acuan? Bagaimana hukum dapat mengatur ketentuan terkait klaim sejarah? Bahan lain yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan kajian adalah data arkeologi. Kementrian RRT itu juga mencatat bahwa literatur sejarah Tiongkok dan asing serta temuan arkeologi menunjukkan adanya tanaman, tempat ibadah, pondok jerami, sumur, gubuk, kuil, makam, dan prasasti tablet yang diduga ditinggalkan oleh nelayan Tiongkok di beberapa kepulauan LTS (Ministry of Foreign Affairs of the People's Republic of China 2016).
Sebagai tandingan, kajian yang mirip dengan data sejarah dan arkeologi versi Tiongkok ini pernah dipaparkan oleh Prof. Dr. Djoko Marihandono (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI) dan Drs. Sonny Chr. Wibisono (Peneliti Utama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional). Dalam sebuah diskusi bertajuk "Ada Apa dengan Natuna? Kilas Balik Kepulauan Natuna, Arkeologi dari Batas Negeri", kedua ahli ini menghamparkan sejumlah data arkeologis dan data sejarah yang membuktikan dinamika budaya di kepulauan Natuna sejak masa praaksara hingga era kolonial. Prof. Djoko, misalnya, menyinggung soal keberadaan pulau-pulau terdepan Indonesia, seperti Karimun, Nongsa, Peampong, Iyu Kecil, Batu Behanti, dan Batu Mandi. Nama-nama pulau itu berasal dari bahasa Belanda lama.Â
Namun, mana logis bila ada yang menganggap itu sebagai pulaunya Belanda! Lalu, ditunjukkan pula barang-barang kuno, seperti keramik Cina, rangka manusia, beliung-beliung, gerabah Vietnam, kubur-kubur batu, dll. (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional 2020). Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa sejak dahulu wilayah LTS memang sudah menjadi jalur pelayaran utama. Oleh karena perdagangan menjadi aktivitas populer masa itu, maka tidaklah mengherankan bila ditemukan pluralitas budaya.Â
Pada gilirannya, terjadilah sesuatu yang disebut "hibriditas budaya". Terjadi silang budaya yang dibawa oleh para pedagang. Fenomena ini membentuk peradaban di sekitar wilayah Natuna pada masa itu. Kalaupun ada ciri kebudayaan Tiongkok, itu hanyalah salah satu dari sekian banyak budaya lainnya. Suatu kebudayaan selalu berciri dinamis sehingga dapat berasimilasi dengan budaya lain yang ditemuinya. Salah bila sebuah negara mengabsolutisasi klaim sejarah versinya.
Berdasarkan penelisikan data arkeologis dan historis ini, kita dapat melihat betapa pentingnya untuk melakukan pembacaan dekat (close reading) terhadap dokumen sejarah, data-data arkeologis, karya sastra kuno, dan produk budaya kuno lainnya. Studi dua kajian humaniora nonhukum ini sekaligus membuka jalan bagi ilmu humaniora lainnya, seperti sastra, sosiologi, dan antropologi untuk dilibatkan dalam penyelesaian konflik LTS. Teritorial dispute ini perlu dikaji secara interdisipliner dan tidak terbatas pada disiplin ilmu arustama (hukum internasional, geopolitik, ekonomi, dan militer).Â
Studi historis-kritis dapat dipandang sebagai langkah relevan untuk menciptakan strategi tandingan terhadap klaim RRT atas LTS. Sambil menyelam minum air: sembari melaksanakan diplomasi, Indonesia perlu menilik klaim historis RRT. Hasil penelitian ini nantinya dapat menjadi pertimbangan tersendiri dalam diplomasi. Selain itu, temuan yang ada dapat memperkuat dasar penamaan Laut Natuna Utara pada 2017 yang lalu (BBC News Indonesia 2017). Jika RRT bersikeras menolak landasan hukum, mengapa tidak mencoba memberikan tandingan (counter) dari klaim historisnya saja, bukan begitu?
Sumber Referensi
Adi, Danang Wahyu Setyo. 2020. "Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan Oleh Badan Arbitrase Internasional." Jurnal Hukum Lex Generalis 1 (3): 39--51. https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i3.259.
Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia. 2023. "Klaim Peta Baru China Tabrak Batas Sejumlah Negara, Kedaulatan Indonesia Terancam?" Berita BNPP. September 4, 2023. https://bnpp.go.id/berita/klaim-peta-baru-china-tabrak-batas-sejumlah-negara-kedaulatan-indonesia-terancam.
BBC News Indonesia. 2017. "Cina sebut penamaan Laut Natuna Utara oleh Indonesia 'tidak kondusif.'" BBC News Indonesia, July 14, 2017. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40610330.
---------. 2020. "Kapal Perang TNI AL Usir Kapal Penjaga Pantai China di Perairan Natuna." BBC News Indonesia, January 1, 2020. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-50966528.
Djuyandi, Yusa, Adilla Qaia Illahi, and Adinda Corah Habsyah Aurel. 2021. "Konflik Laut China Selatan Serta Dampaknya Atas Hubungan Sipil Militer Di Asia Tenggara." Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial, Politik Dan Hummanioramaniora 5 (1): 112. https://doi.org/10.31604/jim.v5i1.2021.112-124.
Institute for China-America Studies. 2023. "Maritime Affairs Program (MAP) Handbill Spotlight: Nine-Dash Line." ICAS (blog). July 25, 2023. https://chinaus-icas.org/research/map-spotlight-nine-dash-line/.
Johannes, Rene. 2023. "Peningkatan Ketegangan Geopolitik Di Laut China Selatan." Jurnal Lemhannas RI 11 (4): 211--18. https://doi.org/10.55960/jlri.v11i4.482.
Ministry of Foreign Affairs of the People's Republic of China. 2016. "China Adheres to the Position of Settling Through Negotiation the Relevant Disputes Between China and the Philippines in the South China Sea." July 13, 2016. https://www.fmprc.gov.cn/eng/wjdt_665385/2649_665393/201607/t20160713_679474.html.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 2020. "Menyingkap 'Ada Apa Dengan Natuna? Kilas Balik Kepulauan Natuna, Arkeologi Dari Batas Negeri.'" January 30, 2020. https://arkenas.kemdikbud.go.id/contents/read/news/758oev_1580374241/menyingkap-%E2%80%9Cada-apa-dengan-natuna-kilas-balik-kepulauan-natuna-arkeologi-dari-batas-negeri%E2%80%9D#gsc.tab=0.
Sahputra, Yogi Eka. 2022. "Kapal Penjaga Pantai Cina Masuk Natuna Perairan ZEE Indonesia, Diduga Sempat Intimidasi Nelayan - Nasional Tempo.Co." Tempo.Co, September 15, 2022. https://nasional.tempo.co/read/1634511/kapal-penjaga-pantai-cina-masuk-natuna-perairan-zee-indonesia-diduga-sempat-intimidasi-nelayan.
Santoso, Aji. 2017. "Asal Usul Sengketa Laut Tiongkok Selatan Membedah Klaim Tiongkok (Bagian I)." Seword. January 27, 2017. https://seword.com.
Wiranto, Surya. 2016. Resolusi Konflik Menghadapi Sengketa Laut Tiongkok Selatan Dari Perspektif Hukum Internasional. Cet. 1. Yogyakarta: PT Leutika Nouvalitera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H