Mohon tunggu...
Eky Zupaldry
Eky Zupaldry Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Saya senang membaca, menulis, bermain alat musik, dan membuat program-program web sederhana. https://ekyzupaldry.github.io

Selanjutnya

Tutup

Politik

Studi Historis-Kritis sebagai Strategi Tandingan terhadap Klaim Republik Rakyat Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan

1 Juni 2024   00:15 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:15 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bergerak ke Pendekatan Historis-Kritis

Lantas, sudah cukupkah RRT mengambil langkah militerisasi? Apakah itu berarti perlawanan militer tidak dapat dielakkan oleh Indonesia? Nyatanya, RRT butuh lebih dari sekadar kekuatan militer yang kuat untuk mendeklarasikan kekuasaannya secara legal atas wilayah LTS yang amat luas. RRT butuh sekutu yang mendukungnya. Namun, menemukan sekutu bukanlah perkara mudah. Keberadaan claimant states dan non-claimant states dalam konflik ini merupakan bukti bahwa setiap negara punya gaya intriknya masing-masing. 

Lagipun, ada hukum internasional yang diakui oleh setiap negara di dunia. Norma ini tidak hanya mengikat, tetapi juga membentuk semacam "moral kenegaraan" di mana sebuah negara harus menghormati negara lainnya. RRT bukanlah satu-satunya negara di dunia ini. Dampaknya, tidak ada negara yang benar-benar swasembada dan terlepas dari hubungan internasional. Setiap negara di dunia memiliki keterikatan dalam relasi global. Kita, misalnya, dapat melihat fenomena ini dalam peperangan antara "Israel-Palestina" dan "Ukraina-Rusia". Kedua perang tersebut tidak kunjung usai atau dimenangkan oleh salah satu negara, sebab ada negara lainnya yang terlibat dalam pusaran konfliknya. 

Oleh karenanya, dalam banyak penelitian, alternatif-alternatif yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah ini acapkali berupa kerja sama (bilateral dan multilateral), penguatan ekonomi, dan ketahanan militer. Untuk alternatif terakhir, saya rasa di era modern---di mana kesadaran akan hak asasi manusia terus ditegakkan---siapa pun akan mengutuki segala hal yang dapat memunculkan konflik dan merebut nyawa orang. Selain itu, penguatan militer pun mengandaikan kondisi ekonomi yang amat kuat. Meskipun RRT mungkin memiliki ketahanan ekonomi, tetapi---sekali lagi perlu ditegaskan---RRT tidak mandiri sepenuhnya. Negara ini punya banyak investasi di luar negeri juga relasi diplomatis yang tidak bisa dilangkahi begitu saja.

Pada 2016, setelah perjalanan panjang mengajukan keberatan kepada pengadilan internasional, Filipina memenangkan sengketa ini. Mahkamah Arbitrase United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) memutuskan bahwa RRT tidak memiliki dasar hukum dari klaimnya atas LTS. RRT memang berhasil menguasai LTS dengan mereklamasi terumbu karang menjadi pulau. Namun, menurut hukum laut internasional, pulau buatan tidak diakui sebagai pulau yang dapat dijadikan patokan untuk mengukur ZEE. Jadi, RRT terbukti melanggar teritorial Filipina. Justru karena pulau buatan tersebut, RRT diberatkan dengan tuduhan perusakan ekosistem LTS. Walau keputusan ini bersifat mengikat, badan tersebut tidak memiliki kekuatan yurisdiksi untuk memaksa RRT yang menolak putusan tersebut. Namun, nama baik RRT menjadi buruk oleh putusan ini (Adi 2020).

Oleh sebab itu, melalui Kementrian Luar Negerinya, RRT memberikan klarifikasi terkait posisinya dalam sengketa LTS. Aneksasi sepihak pemerintah RRT didasarkan atas keterikatan historis dengan LTS. Menurut mereka, masyarakat Tiongkok kuno telah tinggal dan terlibat dalam kegiatan produksi di Nanhai Zhudao (sebutan RRT untuk kepulauan di LTS) sejak lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Mereka menyatakan diri sebagai negara pertama yang menemukan, menamai, mengeksplorasi serta mengeksploitasi LTS. Pemerintah RRT juga mengklaim negaranya sebagai yang pertama dan terus-menerus, menjalankan kedaulatan serta yurisdiksi atas wilayah tersebut secara damai dan efektif (Ministry of Foreign Affairs of the People's Republic of China 2016). 

Wacana historisitas ini tidak terlalu populer di kalangan peneliti dan kadung dipandang sebagai sesuatu yang absurd. Padahal, meski bersifat tradisional dan tidak memiliki dasar hukum yang adekuat, toh RRT terus bersikukuh mempertahankannya. Menurut hemat saya, tidak baik begitu saja meremehkan klaim ini tanpa memberikan argumen yang memadai. Indonesia justru harus memberikan klaim tandingan lewat observasi historis-kritis atas wilayah LTS, utamanya laut Natuna.

RRT merasa latar belakang historis sudah cukup untuk menjadi landasan dalam menyatakan kedaulatan, hak-hak, dan kepentingannya atas LTS. Pada masa dinasti Han, awal abad ke-2 SZB, orang-orang Tiongkok berlayar dan menemukan kepulauan LTS dalam perjalanan panjang. Banyak catatan-catatan kuno yang merekam aktivitas masyarakat Tiongkok di LTS. Literatur-literatur tersebut menceritakann lokasi geografis, karakteristik geomorfologi, kondisi hidrografi, meteorologi LTS sejak tahun 25 SZB. Di dalamnya juga terdapat perubahan-perubahan nama dari wilayah (pulau, terumbu karang, teluk kecil, dll.) yang berada di kawasan LTS. Itulah sebabnya RRT menyebut bahwa penamaan "Laut Tiongkok Selatan" membuktikan bahwa Tiongkok-lah pemiliknya (Ministry of Foreign Affairs of the People's Republic of China 2016). Di sinilah kita dapat mulai memberikan catatan kritis. Terlalu naif jika klaim penamaan wilayah dijadikan legitimasi kepemilikan LTS. Data historis yang dipaparkan dalam situs Kementrian RRT tersebut hanyalah catatan-catatan navigasi penjelajahan laut. Artinya, kita tidak bisa berpegang pada data historis semacam itu. Catatan navigasi---sebagaimana namanya---hanyalah sebuah rekaman perjalanan laut. Itu tidak layak disebut sebagai bukti konkret bahwa Tiongkok pernah melakukan imperialisme atas wilayah-wilayah LTS. Bukankah cara yang lazim di masa lalu untuk mengklaim wilayah adalah dengan menjajah? RRT, misalnya, tidak menyinggung soal kejayaan imperium Inggris. Padahal, kerajaan Inggris pernah berjaya dan menguasai hampir seluruh negara di dunia. Tiongkok merupakan salah satu wilayah yang berhasil ditaklukkan Inggris. Tidak hanya Inggris, dalam sejarah tercatat pula pendudukan Jepang atas Tiongkok.

Lebih jauh, terkait kolonialisasi ini perlu diberikan catatan tambahan. Perebutan wilayah pada zaman dahulu jelas tak dapat diakui di masa kini. Dalam dinamika global, sejarah mencatat banyak sekali kesepakatan antara penjajah dan terjajah guna mengembalikan wilayah jajahan. Dahulu, ketentuan mengenai batas teritorial maritim belum diatur dengan jelas. Namun, saat ini negara-negara telah menyepakati UNCLOS sebagai konvensi hukum laut internasional. 

Meskipun begitu, strategi klaim historis yang dilakukan oleh RRT ini menjadi sebuah wacana penting untuk dikembangkan. Apakah ZEE dan tren batas landas kontingen sepenuhnya dapat dijadikan acuan? Bagaimana hukum dapat mengatur ketentuan terkait klaim sejarah? Bahan lain yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan kajian adalah data arkeologi. Kementrian RRT itu juga mencatat bahwa literatur sejarah Tiongkok dan asing serta temuan arkeologi menunjukkan adanya tanaman, tempat ibadah, pondok jerami, sumur, gubuk, kuil, makam, dan prasasti tablet yang diduga ditinggalkan oleh nelayan Tiongkok di beberapa kepulauan LTS (Ministry of Foreign Affairs of the People's Republic of China 2016).

Sebagai tandingan, kajian yang mirip dengan data sejarah dan arkeologi versi Tiongkok ini pernah dipaparkan oleh Prof. Dr. Djoko Marihandono (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI) dan Drs. Sonny Chr. Wibisono (Peneliti Utama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional). Dalam sebuah diskusi bertajuk "Ada Apa dengan Natuna? Kilas Balik Kepulauan Natuna, Arkeologi dari Batas Negeri", kedua ahli ini menghamparkan sejumlah data arkeologis dan data sejarah yang membuktikan dinamika budaya di kepulauan Natuna sejak masa praaksara hingga era kolonial. Prof. Djoko, misalnya, menyinggung soal keberadaan pulau-pulau terdepan Indonesia, seperti Karimun, Nongsa, Peampong, Iyu Kecil, Batu Behanti, dan Batu Mandi. Nama-nama pulau itu berasal dari bahasa Belanda lama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun