Mohon tunggu...
Eky Zupaldry
Eky Zupaldry Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Saya senang membaca, menulis, bermain alat musik, dan membuat program-program web sederhana. https://ekyzupaldry.github.io

Selanjutnya

Tutup

Politik

Studi Historis-Kritis sebagai Strategi Tandingan terhadap Klaim Republik Rakyat Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan

1 Juni 2024   00:15 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:15 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sengketa Laut Tiongkok Selatan (LTS) masih menjadi salah satu isu geopolitik dunia yang krusial hingga kiwari. Secara geografis, LTS berbatasan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Masing-masing negara ini bertindak sebagai claimant states dengan mengeluarkan kebijakan geopolitik yang saling tumpang tindih. Tujuannya ialah melegitimasi hak kedaulatan mereka atas wilayah LTS. 

Persitegangan ini bermula sejak Tiongkok (kala itu mencakup wilayah RRT dan juga Taiwan) mengklaim hampir seluruh wilayah LTS sebagai teritorialnya. Nada asertif klaim itu diejawantahkan lewat sebuah peta yang dipublikasikan pada tahun 1947. Dalam peta tersebut, Tiongkok menghamparkan sebelas garis terputus yang membentuk huruf "U". Jumlah garis ini berkurang menjadi sembilan buah pada tahun 1952 setelah RRT bernegosiasi dengan Vietnam terkait teluk Tonkin (Institute for China-America Studies 2023). 

Terbaru, negeri tirai bambu ini menambahkan satu lagi garis putus-putus di dalam peta wilayahnya yang dirilis pada Agustus 2023. Kira-kira 90 persen dari keseluruhan luas wilayah LTS didaku oleh RRT (Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia 2023). Meskipun terjadi perubahan jumlah, term "nine-dash line" lebih umum dikenal untuk merujuk pada garis imajiner yang menandai batas teritorial perairan RRT tersebut. Kawasan yang terkena nine-dash line dicaplok RRT sebagai bagian dari domain maritimnya.

Non-claimant states pun ikut andil dalam konflik ini. Mereka berupaya mereduksi pengaruh RRT yang dipandang dapat mengganggu kebebasan navigasi dan keleluasaan perdagangan di jalur LTS. Di antara non-claimant states yang ada, Amerika Serikat (AS) tampil sebagai negara yang paling gencar menyuarakan hal tersebut (Wiranto 2016, 65). Namun, posisi AS ini patut diwaspadai sebagai tindakan "ada udang di balik batu". Penentangan AS atas klaim RRT diwarnai oleh kepentingan ideologi. Eksistensi RRT sebagai negara Asia yang terus mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang menggonggong hegemoni AS. 

Maka, urgen bagi AS untuk terlibat dalam konflik LTS demi menjaga kelanggengan pengaruhnya. Dugaan ini diperkuat oleh citra kedua negara adikuasa ini sebagai oposisi biner yang kerap bersitegang. Kehadiran negara Paman Sam di antara claimant states tersebut makin memperkeruh suasana. Sengketa wilayah (teritorial dispute) LTS tidak saja menimbulkan ketegangan. Namun, juga berpotensi melahirkan konflik yang lebih besar, termasuk konflik bersenjata. Hal ini dapat mengganggu kestabilan keamanan dan perdamaian global. Sebenarnya, Indonesia tidak terlibat secara langsung dalam konflik LTS. 

Namun, keberadaan nine-dash line turut memotong wilayah maritim kepulauan Natuna. Atas dasar garis putus-putus itu, kapal nelayan RRT beberapa kali menerobos masuk ke dalam wilayah laut Natuna. Malah, tindakan ilegal tersebut disokong dengan kekuatan militer berupa pengawalan dari kapal penjaga pantai RRT (BBC News Indonesia 2020; Sahputra 2022). Padahal, kawasan pulau Natuna berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Menilik Kaitkelindan Pelbagai Faktor

Sengketa wilayah LTS tak bisa disigi dari perspektif geopolitik belaka. Faktor-faktor yang menyekitari permasalahan ini bersifat multidimensional. Kepentingan ekonomi merupakan salah satu faktor lainnya. Ada dua penjelasan primer yang menyebabkan faktor ekonomi patut diperhitungkan. Pertama, wilayah gugusan kepulauan LTS mengandung sumber daya alam yang besar, utamanya biota laut serta minyak dan gas bumi. Diperkirakan bahwa cadangan terbesar di wilayah tersebut berasal dari gas alam yang setara dengan yang dimiliki oleh salah satu negara dengan cadangan gas alam terbesar di dunia, yaitu Qatar (Djuyandi, Illahi, and Aurel 2021, 113). 

Pada tahun 1970, ditemukan 25 triliun gas alam serta kandungan minyak bumi sebesar 213 barel di bawah LTS (Santoso 2017). Kemudian, sejak tahun 1990, para pemimpin RRT merasa resah terhadap ketersediaan energi. Tercatat bahwa kepulauan Spratly mengandung 25 miliar meter kubik gas alam dan 105 miliar barel minyak (Johannes 2023, 216). Maka, tidak heran bila RRT---dan claimant states yang lain---beratensi khusus terhadap wilayah gugusan kepulauan Spratly (dan Paracel) dibanding wilayah lainnya.

Kedua, LTS merupakan lintasan strategis yang menghubungkan rute perdagangan Asia, Amerika, dan Eropa. Jalur pelayaran internasional ini menjadi kawasan pelayaran dalam rangka ekspor-impor berbagai komoditas. Jika berhasil menguasai LTS secara sah, maka pergerakan negara luar di sana mesti mendapat restu dari RRT. Kendali aktivitas di sana akan dimonopoli oleh RRT. Untung bagi RRT dan boncos bagi negara-negara lain yang terlibat dalam kegiatan perdangan LTS. 

Tak heran bila RRT melakukan banyak hal untuk menyatakan kedaulatannya di LTS, mulai dari pembangunan pulau reklamasi, hingga militerisasi lewat peningkatan aktivitas maupun pembangunan instalasi militer (Adi 2020). Melihat pertumbuhan signifikan ekonomi RRT, tidaklah mustahil bagi negara ini untuk kian memperkuat militernya di LTS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun