Saya tahu keenganan utama untuk menulis adalah perasaan takut. Saya mengalaminya sendiri. Ketakutan itu mendorong saya secara tidak sadar menilai tulisan saya buruk atau tak menginspirasi.
Belum juga menulis saya sudah berpikir. ‘memangnya siapa yang akan membaca tulisan saya?’
Satu-satunya upaya untuk melawan itu adalah dengan menulis apapun di dalam benak saya. Saya berusaha menulis tanpa memikirkan siapa yang akan membacanya.
Bisa jadi, pada akhirnya hanya kamulah yang akan membacanya. Kamu menulis karena menulis menjadi terapi untuk kehidupan. Seperti yang dilakukan oleh Dahlan Iskan ketika menjalani operasi cangkok hati delapan tahun lalu. Ia disarankan untuk sebentar berhenti bekerja dan dijauhkan dari laptopnya, tapi ia ngeyel dan terus menulis karena lewat proses menulis ia merasakan kesembuhan.
Semakin sering kamu menulis maka semakin lincah otakmu meracik kata demi kata.
Saya selalu menulis lebih dulu dengan pulpen dan kertas. Saat mata pena menyentuh kertas, otak saya mulai bekerja menuntun jari tangan kanan. Ketika itulah saya menciptakan sejarahku sendiri.
Menciptakan sejarah sendiri adalah hasil utama ekspresi lewat proses menulis. Kamu barangkali tidak menghasilkan uang lewat menulis buku, konten, artikel, atau blog.
Kamu juga tidak memiliki klien yang membayarmu sebagai copywriter. Tapi tulisanmu akan melekat pada kehidupanmu.
Kita banyak terpesona oleh catatan-catatan harian dari masa lampau. Surat- surat RA Kartini atau Buku Harian Anne Frank hanya sedikit contoh. Di masa depan, bukan tidak mungkin seseorang akan terinspirasi ketika membuka catatan harian peninggalanmu, atau saat menjelajahi arsip blogmu.
Tulisan akan membuat orang mengenal siapa dirimu. Jadi, menulislah jika ingin dikenang.
Yermia adalah seorang content writer berdomisili di Makassar, Â membangun dan menulis di situs Kreatif Menulis.