Selayaknya patut dicemaskan banyak WNI yang potensial direkrut ISIS. Mengapa demikian? Orang-orang yang mudah tergiur untuk bergabung dengan gerakan radikal biasanya adalah orang-orang yang tidak memiliki kehidupan yang menyenangkan. Orang-orang yang tidak memiliki akses yang memadai (bahkan tertutup) terhadap sumber-sumber ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kehidupan sosial. Jarang sekali orang yang mapan ( ekonomi, pendididikan, kehidupan sosial) terjerumus dalam gerakan radikal ini. Misalkan saja beberapa anggota teroris yang tertangkap (hidup atau mati) oleh Densus 88 beberapa waktu yang lalu. Rata-rata mereka adalah orang-orang sederhana, masyarakat akar rumput yang tidak memiliki akses memadai untuk mengembangkan diri baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan.
Negara Bersalah
Menciptakan kesejahteraan sosial adalah solusi mencegah ISIS Indonesia. Tanpa menyelesaikan persoalan mendasar menyangkut kesejahteraan ekonomi (pekerjaan layak, kebutuhan hidup terjangkau), pendidikan & kesehatan (berkualitas & terjangkau) -- rasanya mustahil bisa mencegah orang-orang yang kurang beruntung ini untuk tidak bergabung dengan ISIS atau gerakan radikal lainnya.
Negara (dalam hal ini:Â pemerintah, para pejabat negara, DPR, Partai Politik, dan siapapun yang berperan menentukan kebijakan negara) paling bertanggung jawab terhadap masalah ini. Tugas utama meraka adalah bekerja keras untuk menciptakan kesejahteraan sosial khususnya untuk masyarakat kelas bawah.
Belajar Dari Etnis Tionghoa
Dalam sejarah NKRI (terutama masa Orde Baru), etnis Tionghoa adalah warga negara yang menderita, dikucilkan, dizolimi, dianggap orang asing/non pribumi (padahal banyak di antara mereka yang lahir & besar di Indonesia -Â lebih fasih berbahasa Jawa atau Sunda ketimbang bahasa leluhur mereka). Diintimidasi, ditutup aksesnya di semua lini kehidupan. Boro-boro bermimpi menjadi pegawai negeri atau berkarir di militer, untuk sekedar membuat KTP saja sulitnya setengah mati. Pertanyaannya: mengapa mereka justru sukses mengembangkan ekonomi dan tidak terjurumus mengembangkan gerakan radikal atau menjadi teroris?
Jawabnya sederhana. Mereka tidak terobsesi dengan SURGA! Jika mereka terobsesi dengan surga, dikompor-kompori, disuntik "morfin surga", sangat boleh jadi orang-orang ini akan menjadi militan radikal. Menempuh jalan pintas (sesat) ke surga.
Kesalahan Ulama
Sekali-kali perhatikan dan renungilah kotbah jumat di mesjid-mesjid. Adakah yang lembut meneduhkan jiwa? Menebarkan damai dan cinta sesama? Membuat orang tersungkur seperti menemukan oase di padang gurun? Ada. Tetapi tidak banyak. Jauh lebih banyak kotbah tentang api berkobar-kobar, kompor bledug, jihad, Israel, Palestina, atau ngomongburuk tentang kelompok atau umat beragama lain. Apakah ini salah? Tidak, selama dilakukan secara proporsional. Pembicara menguasai betul materi kotbahnya dan tau persis siapa yang mendengarkan ceramahnya.
Kesalahan para ulama adalah membiarkan kotbah-kotbah panas yang tidak proporsional. Bila hal ini dilakukan secara (meminjam istilahnya Timses Prabowo) terstruktur, sistematis dan masif, jangan kaget kalau kita menuai anak-anak muda yang gamang, frustasi dan memilih jalan pintas (sesat) menuju "surga".
Tugas genting dan penting para ulama (termasuk MUI) saat ini adalah mencurahkan perhatian mengenai masalah ini. Jangan terlalu sibuk mengurus sertifikasi halal.