Drama Pilpres 2014 sudah berakhir. Tanggal 21 Agustus yang lalu Mahkamah Konstitusi telah megetok Palu -- menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta. Keputusan MK ini bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh untuk menganulir keputusan KPU yang menetapkan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014. Mengikat berarti keputusan MK ini harus diikuti dan ditaati oleh semua pihak yang berkepentingan.
Dalam sejarah pilpres di Indonesia, pilpres 2014 adalah pilpres ketiga yang dilakukan secara langsung. Pilpres langsung sebelumnya dilakukan tahun 2004 dan 2009. Di atas kertas pilpres tahun ini seharusnya lebih mudah dan sederhana karena hanya diikuti oleh dua pasang kandidat dan (otomatis) cukup 1 putaran saja. Bandingkan dengan pilpres langsung tahun 2004 yang diikuti 5 pasang kandidat dan harus dilakukan 2 kali putaran. Atau pilpres 2009 yang diikuti oleh 3 pasang kandidat (meskipun selesai 1 putaran juga).
Namun diluar dugaan semua pihak, pilpres 2014 ternyata berlangsung alot dan menguras energi. Lebih mengherankan lagi, alotnya pilpres kali ini tidak disebabkan oleh hal-hal teknis yang substantif melainkan oleh inseden-insiden ganjil yang tidak masuk akal atau sekurang-kurangnya tidak akan terpikirkan oleh orang-orang yang "sehat nalarnya".
Insiden-inseden ganjil ini tak ayal membuat publik bingung, frustasi, marah, jengkel bahkan dikawatirkan dapat memicu konflik horisontal di tataran akar rumput.
Keganjilan mulai terlihat ketika beberapa lembaga survey merilis hasil quick count yang bertolak belakang. Berbeda 180 derajat. Kedua kubu Capres akhirnya sama-sama mengklaim kemenangan sesuai hasil quick count lembaga survey masing-masing. Insiden ini diluar nalar sehat karena apapun alasannya, quick count adalah sebuah kegiatan ilmiah yang apabila dilakukan dengan metode yang benar, muskil menghasilkan data yang bertolak belakang. Dalam ranah ilmiah, kejadian ini seperti melihat 2 matahari terbit, satu dari timur satu lagi terbit dari barat. Tidak masuk akal alias imposible.
Sujud syukur & klaim kemenangan kubu Prabowo-Hatta adalah insiden ganjil yang menjengkelkan publik lantaran kubu Prabowo-Hatta "mempercayai" lembaga survey yang tidak memiliki track record yang baik (beberapa bahkan tidak dikenal oleh publik). Sangat disayangkan orang sehebat Prabowo yang berpengalaman dalam strategi dan operasi militer bisa mempercayai informasi dari sumber yang tidak jelas & tidak dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.
Quick count juga dilakukan oleh lembaga independen yang tidak berafiliasi dengan masing-masing kubu, yaitu Litbang Kompas & RRI. Dua lembaga kredible dan berpengalaman yang seharusnya juga menjadi referensi bagi kubu Prabowo-Hatta.
Insiden ganjil berikutnya terjadi ketika Prabowo menyatakan menarik diri dan tidak mengakui pilpres 2014 pada detik-detik akhir rekapitulasi suara tingkat nasional. Tindakan Prabowo ini sangat disayangkan berbagai kalangan karena dinilai tidak memberikan pendidikan politik yang baik dan tidak menunjukkan sikap seorang negarawan.
Untunglah akhirnya Prabowo cepat "sadar" dan menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Langkah Prabowo ini dinilai tepat dan elegan sesuai koridor hukum dan prinsip-prinsip demokrasi yang berlaku di Indonesia.
Namun lagi-lagi muncul insiden ganjil ketika Prabowo menyampaikan opening statement pada pembukaan sidang gugatan di MK. Dalam sidang perdana tersebut Prabowo menyampaikan bahwa pemilu 2014 berlangsung curang dan tidak demokratis. Lebih buruk dari pemilu di korea utara, dan sebagainya dan sebagainya. Pidato emosional Prabowo ini dinilai berbagai kalangan sebagai "pidato curhat" yang tidak semestinya dilontarkan oleh tokoh sekelas Prabowo.
Sementara itu berkembang pula isu-isu ganjil di koalisi Prabowo-Hatta seperti koalisi permanen, pansus pilpres dan meneruskan gugatan ke PTUN atau MA.