Mohon tunggu...
Eep Khunaefi
Eep Khunaefi Mohon Tunggu... Pekerja Media & Penulis Beberapa Buku (Pengelola JaPeBu = Jasa Penulisan Buku) -

Penulis buku 17 Magical Ways, Optimis Haji Bisa Gratis, dsb. Web: www.eep-khunaefi.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Hidup dari Jalanan

6 Juni 2013   13:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:27 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Wajahnya menua. Sehari-hari tinggal di masjid. Tapi, tak dinyanah, dari bibirnya kerapkali keluar kata-kata sufistik yang penuh magis.”

O

rang-orang memanggilnya dengan sebutan Pak Ujang (63th). Lelaki ini memang tampak tak muda lagi, tapi saat berbicara, nadanya masih terdengar keras dan kencang cukup bertenaga. Ketika kami ngobrol di sebuah teras samping kiri masjid Metro Lampung (ke Lampung dalam rangka kerjaan), tidak sedikit orang-orang memperhatikan kami saat dia sedang berbicara. Ibarat sebuah sekolah, ia tampak sedang mengajarkan muridnya beberapa ilmu pengetahuan yang sangat berharga.Kami berkenalan di sebuah malam di Masjid Metro jam 22.00 WIB. Aku yang hendak numpang di masjid karena kelewat malam kalau pulang ke Bandar Lampung, akhirnya bertemu dengan lelaki itu di teras depan masjid sedang memijat sahabatnya.

Sebelum kedatangan Bapak Ismail (Marbot Masjid Metro), kami sempat ngobrol. Dari obrolan inilah aku tahu sedikit tentang dia. Dia adalah lelaki bersahaja yang tidak terlalu senang menonton televisi. Ketika aku tanya sejak kapan, ia menjawab sejak tahun 2004. Bahkan,ia mengaku, hampir tidak pernah menontonnya. Aku berpikir ia hanyalah lelaki kolot yang tidak mau tahu tentang perkembangan terkini. Tapi, dari pengakuannya aku justru dibuat terkejut. Ia bertanya, “Apa sih sisi positif yang didapatkan dari televisi?”

Aku menjawabnya banyak. Tetapi, ia tidak sependapat. Ia mengaku bahwa memang ada sisi positif dari tayangan televisi, tetapi sisi mudharatnya (negatif) lebih banyak. Ia pun mencontohkan tayangan sinetron yang tidak mendidik: banyak aksi horor, kekerasan, ketidakpatuhan pada orang tua, percintaan dan sebagainya. “Saya memang bukan orang pinter, tetapi saya mengerti bahwa ini adalah hal yang tidak baik,” ujarnya.

Di tengah obrolan kami, tiba-tiba Pak Marbot masjid datang (itu kuketahui setelah bertanya pada Pak Ujang). Akhirnya aku minta numpang untuk tidur di masjid dan ia pun mengizinkannya. Di satu sisi aku senang karena akhirnya bisa menginap di masjid, bukan di jalanan, di sisi lain aku semakin penasaran dengan sosok lelaki ini. Bagaimana bisa lelaki tua sepeti dirinya memiliki pikiran semacam itu: agamis, ilmiah, dan sangat sufistik? Aku sempat berpikir mungkin karena ia sudah sepuh, yang membuatnya lebih berpikir religius. Tetapi, aku pun bertanya kembali dalam hati bahwa banyak orang yang sudah beruban rambutnya dan keriput kulitnya, tetapi cara berpikirnya masih kolot dan tidak agamis. Lelaki ini sangat berbeda. Hal inilah yang membuatku penasaran untuk bisa bertemunya lagi besok.

Niatku kesampaian. Besok aku bertemu dengannya lagi di tempat yang sama. Tidak sulit lagi, sehabis shalat berjamaah Dzuhur. Kami pun ngobrol lagi di teras samping kiri masjid. Dari obrolan kedua ini, aku semakin mengetahuinya lebih dalam bahwa ia adalah “lelaki masjid”. Artinya, sehari-hari ia memang sering ke masjid, bahkan sering pula tidur di emperan masjid. Apakah ia tidak punya tempat tinggal? Jawabnya punya. Lalu, apa yang dicarinya? Ketenangan hidup. Baginya, masjid adalah tempat terindah untuk bisa membuat hatinya tenang.

Ya, Pak Ujang berada pada titik seperti ini melalui sebuah proses yang panjang. Ia lari ke masjid karena masalah pelik dalam keluarganya. Sang istri yang dicintainya pergi meninggalkannya (tahun 1992). Lalu, anak-anaknya pun dibawanya. Ia tinggal sendirian. Hatinya resah dan gundah gulana.

Di tengah perasaan batin yang sedang berkecamuk itu ia pun sempat hidup di jalanan. Selama itu ia berpakaian compang-camping dan badan kurus kering. Ia pernah dicurigai sebagai orang gila. “Saya pernah tiduran di emperan rumah. Ketika hujan datang saya disuruh masuk oleh pemilik rumah, tetapi saya tidak mau. Saya lebih memilih badan saya basah karena hujan,” ujar lelaki yang pernah jadi broker loket biskop ini.

Lelaki yang saat mudanya pernah menjadi kuli bangunan, penjual daging ayam, dan kelapa muda ini akhirnya menemukan inti hidup dari petualangannya di jalanan. “Saya belajar hidup dari jalanan. Dari sini saya semakin mengerti tentang hakekat hidup,” ujarnya.

Yang paling penting, keluarga dan hidup di jalanan telah membuat hidupnya semakin bijak dan cara berpikirnya kian religius dan penuh nilai sufistik. Salah satu perkataannya yang penting adalah bahwa orang pinter itu belum tentu mengerti, tetapi orang yang mengerti sudah pasti pinter. Dia tidak saja menyoroti persoalan dunia politik yang melibatkan banyak pejabat penting di negara kita, tetapi juga menyoroti banyak persoalan kemanusiaan. Inti dari pandangannya ini adalah bahwa banyak orang yang bergelar sarjana baik S1, S2, atau S3, tetapi cara berpikir dan bersikap mereka seperti bukan orang berpendidikan saja.

Terus terang, aku semakin kagum dengan pandangan Pak Ujang soal ini. Bagaimana bisa lelaki biasa-biasa saja yang sehari-hari tinggal di masjid ini, tetapi memiliki pandangan yang sangat luas dan penuh arti?

Ia pun kemudian melanjutkan pesan sufistiknya, “Sumber tenaga itu ada di kepala, bukan di badan.” “Maksud Bapak?” Tanyaku. Ia pun menjelaskan bahwa sumber hidup kita itu ada di pikiran. Kita sehat dan menjadi lelaki yang kuat, baik hati dan pinter, letaknya ada di pikiran, bukan pada fisik kita. Inilah yang dinamakan dengan berpikir positif. “Sebelum minta orang untuk bertindak jujur, suruh pada pikiran kita sendiri apakah kita sudah bertindak jujur dan adil buat badan kita sendiri?” lanjutnya.

Lelaki itu kemudian terdiam dan aku pun membisu. Sejurus kemudian dari mulutnya kembali keluar kata-kata yang dahsyat, “Kita ini masih tidak bisa jujur dan adil pada diri kita sendiri. Mata, telinga, mulut dan seluruh anggota badan kita masih senang berbohong. Mata masih dipakai untuk melihat-lihat hal yang duniawi, telinga masih senang dipakai mendengarkan hal-hal yang tidak baik, dan mulut kadang masih suka membicarakan keburukan orang lain.” Karena itu, ujarnya, mubazir melihat kesalahan orang lain karena kita sendiri belum tentu benar.

Lelaki kelahiran Padang tahun 1948 ini juga menjelaskan bahwa kita seharusnya banyak melihat tiga hal: bayi, orang sakit dan orang mati. Baginya, melihat bayi itu sama saja dengan melihat kelemahan. Saat bayi lahir ia tampak menangis keras dan tidak berdaya. Lalu sang ibu menggendong dan menyusuinya. Setelah itu bayi tersebut terdiam. Begitulah hidup kita, harus banyak melihat diri kita seperti bayi: lemah dan tidak berdaya. Kita baru bisa kuat setelah mendapatkan asupan dan energi dari Tuhan.

Ia juga menganjurkan kita untuk sering melihat orang sakit dan orang mati. Orang sakit menggambarkan bahwa kita sangatlah lemah, seperti bayi. Karena itu, saat sehat pergunakan sebaik mungkin untuk bekerja dan beribadah. Saat sakit kita butuh pertolongan Tuhan. Sebaiknya hal ini juga kita pakai saat sehat, sehingga kita seolah-olah selalu membutuhkan pertolongan Tuhan. Dengan demikian, kita selalu berdoa setiap saat kepada-Nya.

Sementara orang mati menjelaskan kepada kita bahwa hidup ini tidak ada artinya ketika ajal kita telah diambil oleh malaikat Izrail. Harta dan segala yang bersifat duniawi terasa sangat tidak berarti saat nyawa lepas dari raga ini. Karena itu, mencari duniawi itu setengah-tengah saja atau seimbang dengan kehidupan akherat. Ironinya, kebanyakan di antara kita lebih senang mendahulukan kehidupan duniawi. Bahkan, tidak jarang harus saling mengorbankan orang lain hanya karena masalah ini.

Tiga pesan sufitik dan pesan-pesan lainnya dari Pak Ujang ini begitu menggetarkanku. Tetapi, obrolan kami akhirnya terhenti saat adzan Ashar dikumandangkan. Kami pun bertemu dan ngobrol lagi pada malam hari jam 21.00 WIB, di sebuah rumah makan padang di tengah rintik hujan terus mengguyur kota Metro, Lampung. Malam itu banyak hal positif lainnya yang aku dapatkan. Malam itu juga aku berpesan bahwa mungkin ini adalah pertemuan yang terakhir karena besok aku harus kembali ke Bandar Lampung. Akhirnya, kami pun memang tidak bertemu lagi. Kini, aku telah kembali ke Bogor dan dia sendiri mungkin masih tinggal di Masjid. Aku hanya bisa mengucapkan, terima kasih Pak Ujang atas wejangan-wejangan sufistiknya. Semoga Bapak bahagia menghabiskan sisa hidup ini? Amien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun