Mohon tunggu...
eko supriyanto
eko supriyanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Demokrasi Terperangkap dalam Banalitas Sejarah

18 Oktober 2016   10:39 Diperbarui: 18 Oktober 2016   10:51 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Minggu-minggu ini seluruh dunia menyaksikan betapa pemilu di Amerika, negeri yang sering disebut sebagai rujukan sistem demokrasi terbaik abad ini,sepertinya sedang terjerembab ke titik tergelap dalam sejarah. Meski seharusnya, dengan tampilnya Clinton capres wanita yang pertama, pemilu ini bisa menjadi hal yang sebaliknya.

Tapi lihatlah panggung dan pentas yang terjadi. Alih-alih menjadi pertunjukan elegan yang memberi contoh praktek terbaik dari sebuah negara dengan sistem demokrasi terpanjang dalam sejarah umat manusia,kita justru disuguhi banalisme berkelas rendah. Di TV, media, dan media sosial kita melihat, membaca dan menyaksikan kata-kata kasar dan verbal, serangan tidak pantas, lebih banyak menampilkan serangan personal dari pada program atau kebijakan, kebohongan, dan hal-hal lain yang tidak sepantasnya muncul dalam praktek politik “demokrasi yang baik”.Celakanya pelakunya adalah aktor utama – bukan “pendukung yang bodoh” atau simpatisan yang gelap mata!

Dari awal sebenarnya kita, minimal saya, berharap bisa menyaksikan prosesber sejarah yang bisa menjawab teka-teki panjang: siapkah Amerika, salah satu negeri demokratis terbesar dan paling mapan sejarahnya,menerima dengan ikhlas kemenangan seorang presiden wanita? Tapi tampaknya sekarang saya harus mengesampingkan pertanyaan itu. Clinton, jika kita merujuk pada jajak pendapat terakhir, tampaknya bakal menang dan berhasil menjadi presiden wanita pertama dalam sejarah Amerika.

Tapi itu menjadi tidak terlalu menarik lagi. Sudah seharusnyalah dia menang. Meski Hillary Clinton, berbeda dengan suaminya dulu Bill Clinton atau bosnya yang sekarang Presiden Obama, bukanlah capres terbaik dalam hal keterpilihan di antara pemilih Demokrat sejarah pemilu di Amerika. Masalahnya, lawannya memang terlalu buruk. Bukan cuma citra dan apa terlihat di luarnya, tapi pada dasarnya partai sebelah memang mengusung capres yang bahan dasarnya buruk.

Dipanggung dan di TV, kita melihat Trump tampil bak “pejantan alfa” (alpha male, pejantan dominan) dalam tayangan National Geographic Wild – kanal TV yang sangat bagus mendokumentasikan perilaku hewan-hewan liar. Mirip pejantan alfa maskulin kawanan singa, simpanse atau dubuk. Dia sepertinya siap melakukan apa saja untuk menunjukkan dominasinya: menggigit, membanting, menggeram,menggonggong, mendengus, menyerang kasar, bahkan mempermalukan pesaing atau orang-orang tidak ia sukai. 

Dimasa kampanye, baik sebelum maupun sesudah pencalonan Trump sebagai capres Republik, publik mendengar dan membaca komentar-komentarnya yang merendahkan wanita, warga kulit hitam, warga minoritas, lawan politik .... Sungguh tidak masuk akal bagaimana bisa Trump, calon presiden yang didukung konservatif Amerika, menyandingkan foto istri pesaing yang tidak dalam kondisi terbaiknya (dalam foto itu istri Rubio, yang sama-sama calon Republik, sedang terlihat sangat jelek) dengan foto istrinya sendiri, si model cantik dan dalam penampakan terbaiknya, lalu menyertakan kata-kata: “Apicture is worth a thousand words”.

Di negeri kita yang demokrasinya masih dalam hitungan remaja, kita tidak membayangkan olok-olok semacam ini terjadi. Biasanya, hal-hal semacam ini dilakukan oleh pendukung atau netizen fanatik tapi bukan elit partai,calon utama, apalagi calon presiden!

Danpilpres pun makin menunjukkan kerendahannya ketika pekan-pekan pemilihan makin dekat. Dia menghadirkan perempuan-perempuan yang pernah membuat skandal masa lalu dengan suami pesaingnya, Bill Clinton yang memang terkenal sering membuat skandal dengan perempuan, dalam konferensi pers dan ruangan debat capres. Mungkin dia ingin membela diri dan sekaligus menyerang balik menyusul bocornya rekaman video vulgar dan tanpa malu-malu yang menyatakan hasrat untuk mencium bahkan bercumbu dengan wanita lain ....

Di media, publik membaca nukilan kata-kata Trump dalam rekaman video: “Saat Anda seorang bintang, mereka (wanita) akan memperbolehkannya... Grab them by the pussy. You can do anything.” Dengan menghadirkan kembali para perempuan di sekitar Bill Clinton mungkin dia ingin menyampaikan pesan bahwa pihak lawan, kubu Clinton, tak lebih baik dari dirinya ... meski jelas kini Hillarylah, dan bukan Bill, yang maju sebagai capres. Bagi Trump, korelasi logis itu tampak tidak penting. Seperti pejantan alfa, dia akan menyerang begitu ada kesempatan. Dengan cara apa pun. Ia hanya bermaksud mempermalukan lawan, dan sekaligus keluarganya, di panggung yang penting dan menentukan, yaitu panggung debat calon presiden Amerika.

Pada pekan-pekan berikutnya, makin banyak berita-berita sejenis bermunculan ... Makin banyak perempuan yang berbicara. Dan makin panjang dan luas medan perang yang dia lontarkan: di panggung kampanye, di-tweeter pribadinya, di media ... Sepertinya dia berperang melawan siapa saja yang tidak sepaham dengannya. Mula-mula pesaingnya di Republik, lalu pesaingnya di Demokrat, para wanita,imigran, media, dan belakangan koleganya para elit Partai Republik yang menarik dukungan kepada dirinya.

Paling akhir, ketika tanda-tanda makin tertinggal dalam jajak pendapat, Trump melalui cuitannya di-tweeter mulai mengoceh tentang “media dan jajak pendapat” yang berbuat curang dan tidak jujur karena terang-terangan mendukung “Crooked Hillary” (penjahat Hillary atau bajingan Hillary!)! Kata “Crooked Hillary” selalu bersanding dalam banyak cuitan tweeter dan pidato Donald Trump. 

Panggung itu semakin lengkap dengan hiruk pikuk pendukungnya. Dan tentu saja kaos T-shirt:  "TrumpThat Bitch." Atau yang lainnya: "Trump: Finally Someone With Balls." Di panggung utama, dengan retorikanya yang khas Trumps melontarkan kata-kta: “Dia tidak cukup fit untuk menjadi seorang presiden”. Ia lalu bergaya seolah-olah jatuh ke belakang – jelas, dia sedang mengolok-olok Clinton yang terjatuh karena gejala pneumonia (infeksi atau peradangan paru-paru) setelah hadir dalam suatu acara. Lagi-lagi kita tak pernah membayangkan ini dilakukan oleh calon presiden Amerika Serikat sebelumnya, atau capres kita di sini.

Jane Goodall, antropolog Amerika yang meneliti kehidupan simpanse Afrika, membandingkan gaya politik Trump dengan binatang yang menjadi obyek penelitiannya. Dalam banyak hal, katanya seperti dikutip dari The Atlantic, gaya politik Trump mengingatkan pada ritual simpanse jantan yang ingin menunjukkan dominasi dalam hirarki kawanan. “ ... mereka akan melakukan pertunjukan yang heboh dan riuh rendah: agresif meloncat-loncat, menggaruk-garuk tanah,  menyeret ranting pohon,melempar batu ... semakin kuat dan imaginatif penampilannya, semakin cepat  bisa menaikkan statusnya dalam hirarki ...”  Trump tentu tidak melakukan pertunjukan yang bodoh itu. Tapi kata-katanya, serangan verbalnya, bahasa tubuhnya dalam berbagai kesempatan –semua menunjukkan ciri-ciri pejantan alfa dalam kawanan simpanse,singa, atau dubuk. 

Di luar panggung, kerumunan yang menjadi kawanan pendukungnya pun tak kalang jantannya. Meski di sana tentu saja ada juga sekumpulan wanita, tapi aromanya jelas maskulin kental – maskulin Amerika, tepatnya maskulinisme kulitputih Amerika.  Dan sungguh suatu kebetulan sejarah bahwa lawannya adalah calon presiden wanita pertama dalam sejarah panjang, dua abad lebih, demokrasi Amerika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun