Mohon tunggu...
eko supriyanto
eko supriyanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Drama Cikeas - Kertanegara

25 September 2016   15:51 Diperbarui: 25 September 2016   18:03 2090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan bicara tentang politik dan demokrasi. Tulislah tentang manusia: kegembiraan dan kesedihan, pengabdian dan pengorbanan, cinta dan kasih sayang .... 

Manusia, kata bapak dramaturgi Yunani Aristoteles pada penulis muda, menyukai cerita tentang manusia lain. Bukan politik, retorika, demokrasi .... Yang diperlukan manusia adalah drama! Yang menghibur manusia adalah drama!

Jika kita mengibaratkan panggung politik penentuan calon dan pendaftaran pilkada DKI itu seperti laiknya dramaturgi ala Yunani, maka “Poros Cikeas”, meminjam istilah media, telah memberikan tontonan yang paling apik pada babak pertama.

Semua berawal dari pembukanya yang penuh kejutan dan nama yangsejak awal tidak disangka-sangka. Di tengah-tengah stagnasipartai-partai non-petahana, dari Cikeas muncul nama Agus Harimurti, tiada lain adalah putra sulung Presiden periode 2004 to 2014 yang tengah memiliki karir cemerlang di TNI. Ketika nama tersebut muncul secara tiba-tiba, kita bertanya-tanya: apa iya? Tapi justru disinilah seni dan keberhasilan pertama drama tersebut. Sepanjang Kamis siang hingga Jumat dini hari, perhatian kita tersedot. Kita semua dibuat menunggu penasaran. Apalagi di tengah bocoran yang bersliweran, meski sedikit-sedikit, dari para petinggi partai yang bergabung di kelompok Cikeas. Awalnya disebut sebagai nama yang sama sekali baru di luar dari yang telah beredar, lalu “nama yang turun dari langit”, hingga secara implisit nama Agus Harimurti perlahan-lahan diperkenalkan. 

Sebaliknya, drama lain yang terjadi di sepanjang hari itu tampaknya hanya berhasil menjadi pelengkap cerita. Mirip seperti ketika kita nonton film kolosal – latar belakang sejarah dan pernik-pernik lain hanya menjadi pelengkap yang semakin memperkuat tokoh dan karakter cerita utama.

Dan kejutan itu menjadi kenyataan ketika dini hari Poros Cikeas memastikan dan mengumumkan pasangan Agus Harimurti dan Sylviana Murni sebagai pasangan calon mereka dengan segala bumbunya: keduanya merepresentasikan militer dan birokrat, satunya muda satunya berpengalaman. Keduanya pun merepresentasikan pasangan yang ideal jika dilihat dari kacamata gender, lelaki dan perempuan. 

Drama keduanya, lebih tepat “drama Agus Harimurti dan keluarga SBY” di Cikeas, tidak berhenti di sana. Pertama, muncul aneka cerita tentang bagaimana awal mula nama tersebut muncul. Ada yang mengatakan usulan itu muncul dari partai-partai pengusung di luar Demokrat (yang akhirnya membuat SBY terkejut dan Ibu Ani sempat tidak menyetujui tapi toh kemudian setuju), tapi sebagian partai pengusung justru mendengar nama itu awalnya muncul dari petinggi Demokrat sendiri. Ada yang menceritakan nama itu muncul tiba-tiba – seolah-olah hanya beberapa jam, mungkin hari, setelah PDI-P mengusung petahana; ada juga yang menyebutkan nama itu telah disebut sejak tiga minggu sebelumnya. 

Yang kedua, adalah reaksi penonton drama yang telah bergulir: pertanyaan “apa iya?” diteruskan menjadi “apa tidak sayang?” Bukankah karirnya sedang bagus-bagusnya? Mengapa tidak menunggu nanti– ketika di pundaknya sudah tersemat tanda bintang?

Di tengah pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar sepanjang pagi hingga siang, alur drama di tempat lain hanya berkutat tentang“misteri” siapa yang menjadi pendamping Sandiaga Uno. Menjelang salat Jumat, misteri itu sedikit terbuka ketika mereka berdua, Anis Baswedan dan Sandiaga Uno, melakukan salat Jumat bersama. Meski, lagi-lagi alur drama misteri ini masih dimainkan hingga malam: siapa gubernur siapa wakil, siapa nomor satu, siapa nomor dua. Ujungnya adalah ketika Prabowo, tuan rumah dan sekaligus figur utama Poros Kertanegara, mengumumkan secara resmi Anis Baswedan sebagai calon gubernur dan Sandiaga Uno sebagai wakil. Meskipun lagi-lagi, panggung di Kertanegara masih memainkan misteri-misterian pada kemunculan pertama. 

Sandiagalah yang mula-mula muncul baru kemudian Anis Baswedan. Prabowo, yang keluar tidak lama sesudahnya, berdiri di tengah-tengah keduanya. Dan siapa nomor satu dan dua menjadi jelas, tidak menjadi misteri lagi, ketika Prabowo memindahkan posisi Anis ke sisi kanan dan Sandiaga ke sisi yang kiri. Kata-kata dan ilustrasi pembawa acara yang menyatakan “ ... ketika Pak Prabowo belum memutuskan boleh tuker-tukeran tempat ...'' menegaskan posisi Prabowo sebagai tokoh sentral, dan bukan sekadar tuan rumah.

Seterusnya, kita menyaksikan drama kata-kata, retorika, sebelum kemudian ditutup puisi protes ala Rendra yang syairnya sudah banyak kita ketahui.

Kita kembali ke Poros Cikeas di kantor DPP Demokrat di kawasan Menteng, Jakarta. Tidak banyak kata dan retorika. Di televisi, kita seperti melihat drama TV keluarga: Agus meminta restu pada ayah dan ibunya; Sylviana kepada suaminya. Setelah itu, keluarga, handai taulan dan seluruh kerabat melepas mereka dengan doa. 

Di layar TV kita melihat kedua pasangan ini, didampingi istri dan suami masing-masing, naik bus diiringi pendukung menuju ke KPUD Jakarta. Kamera seperti tak lepas dari pasangan Agus dan Anissa. Keduanya merupakan pasangan muda, karirnya cemerlang, dan “layak kamera”. Agus memang masih terlihat kaku dan serius. Tapi Annisa Pohan, yang latar belakangnya memang model dan aktris, melengkapi kekurangan suaminya dengan baik: senyumnya, gestur tubuhnya, sesekali tangannya menggenggam erat sang suami. Ditunjang oleh wajahnya yang cantik, semuanya menampilkan adegan drama yang apik!

Dan puncak drama malam itu adalah sesudahnya: pidato Agus Harimurti di kantor DPD Jakarta yang emosional. Dia bercerita tentang lembaga militer yang membesarkannya, dia bercerita tentang anak buah, temannya sesama perwira, dan keputusan yang berat untuk meninggalkan itu semua untuk, bahasa Agus Harimurti, mengabdi kepada negara di lapangan yang lain.

Sesekali matanya menatap ke bawah – sepertinya ke kertas dan catatan yang ia persiapkan. Sesekali pidatonya terhenti oleh suaranya yang terbata-bata. Saya pikir pidato Agus malam itu merupakan bentuk political statement terbaik. Melalui pidatonya yang emosional, dia hendak menegaskan pilihannya tentang “perjuangan dan pengorbanan” melalui cara dan proses yang tidak mudah.

Di antara pendukung dan simpatisan, duduklah SBY – meski jarang tampil sebagai juru bicara utama, tak bisa dibantah dialah yang menjadi figur sentral drama sepanjang hari itu. Meski lebih banyak diam di antara simpatisan dan pendukung anaknya, SBY pasti memahami bahwa dirinya sedang mempersiapkan jalan yang tidak mudah bagi si sulung. Bagi SBY dan keluarganya di Cikeas, mungkin juga bagi Demokrat, pencalonan Agus adalah testimoni serta penegasan untuk masa depan: prosesi regenerasi. 

Pilkada DKI hanyalah momentum untuk memberi jalan bagi sang putra mahkota. Tidak penting kalah atau menang -- jika lolos babak kedua atau menang itu adalah bonus.  Bisa jadi pula malam itu SBY sedang dan sudah membayangkan lima atau sepuluh tahun lagi, ketika drama lain yang mempertemukan dua dinasti politik negeri ini, Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri, akan terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun