Berbilang hari telah melewati garis waktu. Dari titik pangkal hingga titik nadir yang merapuhkan asa. Dari sana kita bermula merajut benang-benang persahabatan, hingga waktu pelan pergi meninggalkan setumpuk abu kalender.
Tawa dan tangis melebur di garis waktu. Meski gumpalan mendung cemburu menyaksikan, namun kedua bola mata kita tetaplah berpelangi. Kedamaian pun terus mengaliri urat nadi kita.
Panas dan hujan setia mengiringi titian hari yang kita lewati pada jalinan persahabatan. Berbalut pengorbanan demi pengorbanan hingga meninggalkan jejak-jejak kenangan.
Rupanya kini garis waktu dan jarak tlah membunuh ingatanmu. Ada gumpalan lupa yang telah menggogoti rongga kepalamu hingga namaku menguap jauh. Keangkuhan datang menjelma dan mengikis ketulusan.
Wahai sahabatku. Sebenarnya aku tak ingin sadar saat ini. Biarkan aku tenggelam menikmati mimpi yang merimbuni setiap tidurku. Karena terlalu indah kenangan yang pernah kita lukis bersama di dinding waktu.
Pada akhirnya nuraniku harus sadar. Jari jemari ini takkan lagi mampu menyentuh kupu-kupu indah yang kini pergi jauh dan meninggalkan aroma kesunyian. Seketika mataku berkaca dan diam seribu kata.
Sahabatku. Meski hari-hatiku kini hanya menikmati lumut-lumut kedukaan pada nampan kesunyian, namun aku masih setia menunggu hadirmu kembali. Sadarlah. Kelak kita berdua kembali membingkai hari dengan ketulusan.
(Sungai Limas, 12 Januari 2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H