Sebotol madu setia menemani hidangan di meja perjamuan. Tangan tangan berebut tak membiarkan. Begitu berharga dalam campuran hidangan. Lidah lidah penyuka manis pun telah tertawan.
Namanya terpatri jadi dambaan. Bertahta di singgsana hati pengunjung perjamuan. Tak sedikit mereka harus berlarian, demi mereguk manisnya minuman.
Sementara di sana, ada hati yang terkoyak. Menyaksikan adegan demi adegan. Sang permata diperebutkan. Apalah daya. Permata hati harus memainkan peran, sebagai pelengkap hidangan.
Manakala sisa madu hampir di nadir penghabisan, napas sudah tertahan. Perjamuan pun hampir menapaki awal kenangan, madu lirih merintih pelan. Akan kah ia nanti tetap di kenang?
Sebotol madu haru dalam tatapan. Pengunjung perjamuan mulai berbalik badan, sisakan tumpukkan nampan. Sesekali mereka berdesakan. Tak sadar sudah menyentuh, hingga madu pun tersia tumpah dibiarkan.
Tak terasa butiran-butiran bening mengaliri sebuah penantian. Berharap ada yang sudi kembalikan pada sebuah kemewahan martabat. Akhirnya, dengan sedikit ketegaran. Bangkitkan lagi pesona pada kepantasan, berbekal kesabaran benih penghambaan pada Tuhan.
(Sungai Limas, 2 Februari 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H