Mohon tunggu...
Ekriyani
Ekriyani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pembelajar di universitas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menertawakan Diri, Banyak Terlewati

17 Januari 2021   06:40 Diperbarui: 17 Januari 2021   08:37 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

Hal yang paling konyol menurut sebagian orang adalah ketika kita suka menertawakan diri sendiri.

Bagi saya lebih baik menertawakan diri sendiri dari pada menertawakan orang lain. Apalagi bahan tawa itu berupa kemalangan atau kebodohan yang dilakukan orang lain.

Alangkah kasihannya orang tersebut. Bagaimana jika kondisi itu terjadi pada kita? Ketika kemalangan yang membuat malu, sedih, atau kebodohan telah terjadi pada kita yang paling diinginkan adalah semua orang melupakan kejadian tersebut. Begitulah yang orang inginkan, pastinya.

Saya jadi teringat tentang pesan rumi, Jalaludin Rummi dalam sebuah nukilannya menyebutkan "kenalilah dirimu maka kau akan mengenali penciptamu". Nukilan ini menjadi landasan berpikir untuk menertawakan diri yang saya anggap telah banyak dilupakan orang.

Salah satu bentuk mengenali diri adalah menggali potensi yang kita miliki. Setiap manusia pasti dianugerahi karunia berupa kelebihan dalam dirinya. Dan setiap orang memiliki kelebihan yang berbeda. Ini menjadi salah satu sempurnanya ciptaan-Nya.

Apa saja potensi diri yang melekat pada setiap individu itu? Yang paling dominan dimiliki adalah suka belajar. Perhatikan saja anak dalam basa pertumbuhannya, sangat aktif dan lebih sering bertanya.

Bahkan dalam kondisi sendiri pun, bermacam mainan ia coba perlakukan sangat istimewa. Bola matanya bergerak dan mencermati. Mengingat-ingat dan mempelajarinya walau masih dalam tataran sangat sederhana.

Di samping itu mau melihat kekurangan diri menjadi poin terpenting juga dalam pengenalan diri. Secara naluri kita sudah dibekali rasa ingin menutupi kekurangan yang dimiliki. Hal ini membuktikan bahwa dalam dirinya ada sebuah kekurangan.

Pada dasarnya sikap yang luwes sudah ada sejak bayi. Bayangkan ketika bayi menangis minta asi pada ibunya. Apa saja ucapan ibu tersebut, entah dimengerti atau tidak secara manusiawi ia bisa bersabar.

Hanya dalam kondisi yang sangat mendesak tangisnya tetap meledak. Namun, secara umum ia sudah merasa tenang bahwa ternyata ibunya mendengarkan tangisannya.

Dengan perlahan masa pertumbuhan beranjak ke masa perkembangan. Salah satunya adalah terlihat bahwa sang bayi mulai berani melakukan perubahan secara total untuk perbaikan. Yang mulanya hanya terlentang, kemudian berusaha keras untuk bisa tiarap, selanjutnya duduk dan akhirnya berjalan.

Pada saat ia telah bisa berjalan, tak mungkin lagi aktifitasnya diisi dengan terlentang, tiarap maupun duduk saja. Sesuai dengan kemampuannya, berdiri dan berjalanlah yang menjadi kegiatan andalannya saat itu. Artinya secara umum perubahan itu telah melekat dalam diri.

Ketika daya pikirnya mulai mampu menalar, semula anak tidak mau menyalahkan orang lain maupun keadaan. Orang-orang di sekitarnya tanpa disadari telah menularkan keburukan berupa ucapan dan tindakan suka menyalahkan orang lain.

Berapa kali kita, begitu ada seseorang yang melakukan kesalahan yang pertama terlontar adalah menyalahkan. Mungkin ini adalah akibat dari pelajaran orang dewasa yang melekat begitu kuat pada kita sejak kecil.

Potensi diri yang lain dan begitu mulia adalah memiliki sikap yang tulus. Dan lagi-lagi faktor lingkungan, terutama lingkungan keluarga dan sekitarnya dengan perlahan tapi pasti mengajarkan kelicikan.

Tidak ada orang yang suka jika ada orang lain yang lari dari tanggung jawab. Demikian juga orang lain. Maka rasa tanggung jawab telah memaksa kita untuk memenuhinya, akibat dari keinginan orang lain juga bertanggung jawab pada apa yang kita bebankan. Timbal balik yang sudah semestinya.

Nah, dari potensi dasar yang ada dalam diri kita itu mana yang belum tuntas kita penuhi? Berapa sering kita enggan belajar memperbaiki diri? Berapa kali kita telah menyalahkan orang lain di sekitar kita karena keteledoran maupun kekhilafannya?

Demikian juga, berapa sering kelicikan kita perbuat demi keuntungan individu? Dan yang terakhir, berapa banyak tanggungjawab yang menjadi hutang sosial pada diri sendiri dan orang yang kita kenal?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan menjadikan kita mengenal diri. Mana kala satu persatu potensi diri tersebut masih belum sempurna kita laksanakan pasti akan membuat kita berpikir ulang. Apa sebenarnya sebabnya.

Hal yang paling mudah untuk menghibur diri adalah dengan menertawakannya. Berbuat seolah-olah kita senang dengan potensi diri yang terlewatkan. Dengan senang, disadari atau tidak respon spontan otak kecil akan menjawab. Ingatan ini membangkitkan kembali kesalahan masa lalu.

Setelahnya, perlahan tapi pasti mereka akan mencoba untuk menggali potensi dirinya lagi dan memperbaiki kesalahan masa lalu.

Terakhir, sebagai contoh sederhana saja. Bahkan seorang pencuri pun tak ingin anaknya menjadi pencuri. Hal ini menandakan bahwa potensi dirinya masih berfungsi mengendalikan kehidupannya.

Oleh karena itu, daripada sibuk menertawakan orang lain, lebih baik menertawakan diri sendiri. Harapan terakhirnya, adanya introspeksi diri yang membawa pada terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik.

(Sungai Limas, 17 Januari 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun