Pertanyaannya kemudian kita balik arahnya, "Kalau aku jujur, aku dapat apa?"
Lawan dari jujur adalah berbohong. Orang yang diam saja, apakah mereka termasuk orang yang tidak jujur? Orang yang pendiam, mungkinkah disebut pembohong?
Menilai orang lain telah berkata jujur atau bohong memang sulit dilakukan. Makanya lebih mudah jika pertanyaannya kita kembalikan ke diri sendiri. Selama ini aku sudah jujur atau belum? Berapa persen dari yang aku sampaikan itu sebuah kejujuran atau rekayasa?
Keingintahuan sudah menjadi bawaan manusia, naluriah sekali. Jadi wajar ketika sering dalam hati kita bertanya, lawan bicara saya ini sedang jujur atau sedang berbohong.
Berhati-hati menyaring informasi juga sangat penting. Apalagi di era informasi sekarang ini.
Saya jadi ingat youtuber Edy Mulyadi, katanya sih wartawan senior dahulunya. Sekarang lagi getol menggunggah informasi di laman youtube-nya pernah berkata, katanya pada saat memulai terjun ke dunia kewartawanan ia mendapat wanti-wanti dari seriornya, "Tanamkan dalam benakmu, bahwa ia telah berbohong."
Mulanya saya berpikir, orang ini kenapa tidak percayaan sama sekali? Prasangka buruk yang kelewat batas. Namun setelah saya cermati alasannya ternyata memang benar.
Sebagai pemberi informasi, harus menanamkan dalam benaknya bahwa informasi yang disampaikan seseorang tentang suatu peristiwa adalah tidak benar. Dengan demikian maka akan ada upaya untuk mencari pembanding, studi komparasi. Bahasa kerennya tabayyun.
Informasi yang diterima dari dua orang tentu saja keabsahannya lebih dari pada dari satu orang. Cerita yang disampaikan oleh orang yang sepaham/sepihak kurang afdhol jika tidak dilengkapi dengan informasi dari pihak lainnya. Begitulah, kata wartawan sih!
Yuk kembali ke topik kita. Ketika kita jujur dengan diri sendiri kita akan mendapat apa?
Pertanyaan ini sesekali kadang terlintas, biasanya menjelang tidur. Atau bagi sebagian orang datang teguran dari nuraninya, "Hei! Kamu telah berbohong." Tapi yang bersangkutan yang terbiasa berbohong akan cuek bebek saja.
Toh selama ini dia berbohong tak apa tuh. Yang keren tetap aja keren. Yang banyak sahabat, tetap saja banyak sahabat. Nyatanya selama kebohongan yang dibuat tak terbongkar tak mengapa, begitu mungkin.
Tapi tetap saja, sepandai-pandai tupai melompat sekali waktu akan jatuh juga.
Coba kita perhatikan berita yang beredar di sekitar kita, baik dari media sosial maupun media daring lainnya. Kebohongan kadang mendapat dukungan dan pembenaran banyak pihak. Entah dengan sebab tertentu atau sebab lainnya.
Demikian juga ketika kejahatan tertangkap basah. Apa yang pertama kali dilakukan pelakunya? Nomor satu membela diri. Walau langit akan runtuh membela diri tetap dilakukan. Mati pun rela asal bisa membela. Berjuta alibi menjadi penguat.
Tak sampai di sana, bahkan ketika pengadilan telah memutuskan dengan kesalahannya dengan bukti yang sah dan bisa dipertanggungjawabkan masih saja ngeles dan menyangkal. "Saya kan dijebak!" Heran!
Lantas ketika kita jujur, kita dapat apa? Ini pertanyaan pokok kita? Mari kita tanya diri kita masing-masing. Pernahkah kita jujur pada saat-saat genting? Atau untuk menutupi malu dan aib kita kemudian berbohong dengan alasan menyelamatkan diri.
Para pelaku jujur pasti akan mendapatkan sesuatu berdasarkan pengalamannya. Bila mereka tak pernah jujur, atau sering berbohong tentu saja tidak akan ada pertanyaan, "Jika saya jujur saya dapat apa."
Yang tampak secara nyata adalah ketika kita jujur, orang tahu kesalahan kita. Barangkali kita akan dibenci, kadang malah dimaki, dijauhi dan sebagainya. Itu yang tampak secara nyata.
Sementara yang tidak nyata adalah kita akan merasa lega. Selebihnya silakan rasakan sendiri. Jika sempat juga, jika tak sempat pun tak mengapa. Perasaan itu perasaan kamu sendiri. Hanya dirimu yang tahu.
(Sungai Limas, 6 Januari 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H