Bolehkah sebentar kita mengenang. Tentang durian yang berbuah di puncaknya kemudian hilang dicuri orang sebelum masak dan enak dimakan. Juga tentang hilangnya sandal di pelataran.
Atau tentang seorang anak yang naik kendaran ke luar gang tanpa toleh kiri kanan jalan. Tewas di tempat terlindas mobil avanza. Tentang kisah fiktif menjadi nyata. Juga kisah nyata berlalu begitu saja.
Barangkali tentang tulisan yang kehilangan makna. Angin dan topan datang tak disangka. Terimakasih yang belum sempat tersampaikan. Kata maaf hilang karena kesakitan. Semua lenyap tak berbekas.
Sekian tahun bergelut dengan malam. Melupakan asyiknya bercengkrama dengan rekan-rekan. Demi ambisi mengejar target dikenali.
Bertumpuk indahnya bulan diasingkan. Hanya untuk sebuah kata. Bisa atau hebat! Apa yang ia dapat selanjutnya?
Nol besar. Ia lenyap dengan setumpuk salah yang tak dikenali. Dengan kalimat yang tak dimengerti. Juga hilangnya harga diri. Wajahnya serasa ditampar balok besi. Malu melekat pada mata. Kini tatapannya tak nyata.
Bagaimana bisa terjadi begitu saja? Hanya mesin dengan raga. Hanyan besi tak punya hati. Hilang belas kasihan. Ia pergi tanpa permisi. Entah kapan kembali lagi. Mungkin saja sekarang pun ia ada dalam wujud seribu rupa.
(Sungai limas, 5 Oktober 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H