Sebuah surat bertuliskan bait-bait padu, dalam nuansa selaksa haru. Sekejap arah goresan berubah haluan, hanya tertuju padamu matahari sang penutup kegelapan.
Sekilas riak wajahmu kelam tanpa terik menyengat, namun ganas dalam selaksa paksa. Mudah kuasamu hentak lidah minta diberi, parau suaramu minta hasrat segera dipenuhi .
Sinar kuasamu paksa sekehendak hati, datang merongrong bagai tirani. Hatimu membatu lenyap lembut nurani. Sengatan kuasamu menusuk ke seluruh sendi.
Andai kau ada di posisi kami, kelak kau tahu pentingnya mawas diri. Tak mudah menjaga hati, meski datang sengatan kuasamu harus kami hadapi, demi tetap menjaga jati diri.
Hati kami senantiasa berpelangi, tak mudah untuk disakiti. Biar kuasamu penyengat hati, namun kami tetap bekerja sepanjang hari. Walau di rentang waktu sesak dihadapi, hingga sinarmu redup di sini. Kami hanya bisa berserah diri, biarlah semua Tuhan perhitungkan lagi.
(Sungai Limas, 11 Maret 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H