"Theng...Theng...Theng...Theng"
Tiang listrik di samping pos ronda ditabuh berulang-ulang. Heladalah, baru saja saya mau menyelonjorkan kaki, menghilangkan penat setelah seharian penuh menjalankan tugas negara, eee... kok sudah memanggil tugas sosial kemasyarakatan.
Aneh tenan kok yang buat jadwal ronda itu. Saya ini kan abdi negara. Bukan kaleng-kaleng. Wong pangkat! Kok bisa-bisanya dijadwal ronda hari Senin malam lhooo. Di mana-mana abdi negara itu sibuk luar biasa di hari Senin. Lha ora sibuk piye? Kantor kan libur hari Sabtu dan Minggu. Lha sudah pasti Senin jadi pemenuh kebutuhan orang-orang yang sudah "menahan hajat" sejak hari Sabtu toh? Akibatnya abdi negara bermartabat seperti saya ini harus kalang kabut melayani kebutuhan masyarakat yang sudah tertahan dua hari itu. Wajar kalau malamnya tepar.Â
Tapi persoalan semacam ini mana dipahami oleh ketua RT saya yang sejak lulus SMA sudah sibuk berdagang. Mana paham dia tentang kalang kabutnya orang kantoran di hari Senin. Alhasil, saya dijadwal jaga ronda di malam selasa. Di malam ketika saya sedang lemes-lemesnya.
Tapi wong pangkat itu kan saya sebagai pejabat di kantor pemerintahan. Di lingkungan saya tetap anak buah Pak RT. Jadi di lingkungan ya harus sami'na wa atho'na, sendika dhawuh sama ketentuan yang dibuat oleh Pak RT. Karena itu, setelah berhasil mengumpulkan nyawa, saya pasang sarung juga akhirnya. Menghabiskan sisa teh di cangkir dan senthiyeng bergegas ke pos ronda.
Sampai di pos ronda, saya uluksalam kepada Bapak-Bapak teman ronda saya. Ngatimin Dingklik, Satemo Dokar, dan Sastro Carik. Nalar Jembar izin tidak hadir karena sedang terkapar di-KO flu.
"Monggo, monggo Pak Estu. Saya kira tidak ronda lho malam ini. Apa baru pulang tindakan luar kota to Pak Estu?"
"Ora lho Pak Min. Leyeh-leyeh kok bablas ketiduran lho."
"Lha nggih wajar lho Pak. Pak Estu ini kan pejabat tinggi. Mesti sibuk kok. Lha nek rawuh ndalem terus sare, yo wajar-wajar saja. Kan yo lelah kerja kantoran seharian."
Satemo Dokar yang sejak salaman tadi terus saja menekuri HP pintarnya, tiba-tiba meletakkan gawainya itu lalu ikut nimbrung.
"Mboten lho Pak Estu. Beberapa hari ini saya mencermati status-status WA warga sini. Semuanya seragam. Hanya Pak Estu lho yang statusnya beda."