Thiiin. Saya mengklakson pasangan itu dan mereka menjawab;
"Nembe kondur Pak Estu? Pinarak!"
Saya nggak tahu kenapa, tapi kok ya saya langsung mengerem sepeda motor dan masuk ke halaman rumah mereka terus duduk di bancik tangga rumah.
Nyonyah Satemo lalu menanyai saya ini itu tanpa mengalihkan pandangannya dari rambut suaminya. Tapi kadang-kadang, kalau ingin bicara lebih panjang lebar, ia berhenti memotong rambut dan berbicara dengan membalikkan badannya kearah saya sepenuhnya.
Satemo duduk menghadap ke pohon nangka yang sepertinya sudah cukup tua. Ada beberapa buah nangka yang gemandhul dibrongsong karung agar terhindar dari gigitan lalat buah.
Pas di depan hidung Satemo, dipakukan pada batang pohon nangka itu sebuah cermin ukuran A5. Dari cermin itu Satemo melihat hasil kerja istrinya. Tapi fungsi cermin itu tidak lebih sebagai alat untuk memonitor hasil potongan rambut istrinya.
Sejak saya duduk di sini sampai sekarang, saya belum pernah mendengar Satemo protes atau meminta ini itu pada istrinya. Ia hanya manut pasrah saja dengan kepiawaian tangan istrinya itu.
Zaman kecil saya dulu, kalau waktunya potong rambut, Bapak saya pasti membonceng saya ke alun-alun kota. Di alun-alun itu ada beberapa orang pemotong rambut tanpa kios.
Mereka hanya meletakkan meja kecil di bawah pohon beringin dan memasang cermin kecil di batang pohon rindang itu. Persis seperti yang sekarang dipraktikkan oleh Satemo Dokar dan istrinya.
Memotong rambut di tempat seperti ini saya rasa nyaman betul. Meskipun di musim kemarau, di bawah pohon beringin suhunya selalu terasa sejuk. Terus pandangan mata juga bisa jelalatan kemana-mana. Nanti kalau menolehnya sudah keterlaluan, si tukang potong rambut yang akan mengembalikan kepala kita ke "jalan yang benar."
Kini, tukang potong rambut yang menggelar alatnya seperti yang di alun-alun pada saat saya kecil dulu sudah tidak ada lagi. Semua tukang potong rambut pasti menempati ruangan tempat mereka bekerja meskipun sempit. Entah yang permanen atau semi permanen.