"Ha nggih Pak Estu. Nuwun sewu, dalem pareng rumiyin. Kalepatanipun."
Saudara-saudara Sastro Carik itu satu persatu menyalami saya. Saya ikut nguntapake keberangkatan mereka hingga mobil-mobil mereka hilang di tikungan.
"Pinarak riyin Pak Estu."
Sastro Carik menawari saya untuk singgah sebentar di rumahnya untuk sekedar minum teh. Saya mengiyakan tawaran itu. Wong saya juga sudah kemringet setelah mengitari kampung beberapa kali. Mungkin pagi ini sudah cukup sepedaannya. Waktunya istirahat sambil ngobrol dan ngeteh pagi.
"Saudara-saudara Pak Sastro ini berhasil semua ya di kota."
"Alhamdulillah Pak. Berkat kerja keras Bapak, ibu dan bantuan orang banyak, akhirnya kami ini bisa hidup layak."
"Kalau saya lihat-lihat, saudara-saudara njenengan itu bukan hanya hidup layak Pak. Pasti hidup mewah di kota itu."
"Waduh Pak Estu, itu lak menurut njenengan to? Njenengan tidak tahu to mereka itu sambatnya ngaru napung. Berkeluh kesah tentang kehidupan mereka di kota."
"Lho...lho...lho. Wong berpenghasilan lebih dari cukup, apa-apa ada dan punya, kok masih berkeluh kesah, piye to?"
"Bukan perkara penghasilan Pak Estu. Kalau masalah itu tentu mereka lebih makmur daripada saya yang di sini. Masalah itu lho yang sekarang lagi ramai di TV. Polusi udaranya itu lho."
"Oalah...."