Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Tukang Ngeteh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bisakah Fiksi Mendorong Kita untuk Segera Bertindak Mengatasi Perubahan Iklim?

5 Oktober 2023   23:01 Diperbarui: 5 Oktober 2023   23:03 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir oleh Eko Wurianto/Dok. Pribadi

Pagi tadi saya mengobrol dengan teman yang rumahnya jauh di desa, di daerah perbukitan yang tandus. Ia bercerita tentang semakin berkurangnya pasokan air di desanya.

"Sekarang ini, air memanas di desa saya." katanya. Saya tidak paham dengan istilah "air panas" itu. Maka, untuk mengembangkan percakapan saya bertanya kepadanya.

"Maksudmu karena udara yang panas akhir-akhir ini, air di desamu juga ikut memanas?"

"Bukan," jawabnya sambil tertawa. Ia sepertinya sengaja memakai istilah itu untuk mengelabui saya. Dan sekarang ia nampak puas karena niatnya itu berhasil.

"Orang saling berebut air karena air semakin sedikit."

Saya pernah main ke desanya. Semua orang di desanya menggunakan air dari belik (sumber air) yang letaknya jauh di atas bukit. Karena letaknya yang jauh itu, orang-orang mengalirkan air ke rumah masing-masing menggunakan selang yang disambung-sambung.

Saat ini debit air semakin menurun, akibatnya tidak semua selang-selang itu teraliri air. Orang yang tidak kebagian air biasanya akan menyabotase selang yang teraliri air untuk disambungkan ke selang yang menuju rumahnya.

Aksi sabotase ini seringnya tidak diketahui oleh orang lain karena selang-selang itu melewati hutan-hutan yang tidak ada huniannya. Tapi terkadang ada juga yang naas, kepergok ketika memutus selang air tetangganya.

"Kalau kepergok, bisa menimbulkan pertengkaran tidak?" Tanya saya.

"Oh tentu saja."

Saya merasa miris. Kalau air semakin sedikit, akan semakin sering terjadi sabotase. Dan sabotase itu akan menimbulkan pertengkaran yang bisa jadi akan mengarah kepada kekerasan. Saya lalu teringat novel "Dry" yang dikarang oleh ayah dan anak, Neal Shusterman dan Jarrod Shusterman.

Dengan mengambil seting di California Selatan, Dry berkisah tentang terhentinya pasokan air hingga menimbulkan kekacauan. Dengan gaya bertutur yang lincah, novel ini sukses menciptakan atmosfir yang mencekam ketika saya membacanya.

Bahkan kesuraman cerita itu terus membayang-bayangi pikiran saya meski saya telah selesai membacanya. Novel ini kemudian juga mempengaruhi aktivitas keseharian saya. Ketika melihat air di bak mandi saya lalu berpikir bahwa sumber daya alam ini bisa saja hilang setiap saat. Saya jadi tergugah untuk menggunakan air secermat mungkin.

Setelah beberapa hari berselang, bukan hanya kesadaran untuk menjaga kelestarian air yang timbul dalam pikiran saya, tetapi juga timbul pertanyaan mengapa novel yang saya baca itu bisa meninggalkan kesan yang sedemikan dalam? Dan juga menggerakkan saya untuk berbuat sesuatu walaupun dalam skala yang kecil?

 Menurut Daniel Kahneman, pengetahuan yang timbul dari emosi lebih efektif dalam memengaruhi perilaku ketimbang pengetahuan rasional. Bisa jadi selama ini kita sudah mendapatkan banyak fakta tentang krisis iklim. Tapi fakta-fakta itu sama sekali tidak menyentuh emosi kita. Akibatnya ia hanya berhenti sebagai pengetahuan, bukan sebagai aksi nyata.

Dulu saya tidak bisa memahami mengapa tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar. Tapi ketika akhirnya saya bisa membaca buku itu saya baru tahu bahwa buku-buku Pramoedya itu bisa menggugah kesadaran, menimbulkan empati, dan mendorong orang untuk bereaksi. Buku fiksi yang ditulis dengan baik bisa menimbulkan dampak sedemikian besar.

Karena itu, buku-buku fiksi tentang krisis iklim sudah pasti akan memberikan dampak positif yang serupa. Saya lalu membayangkan di masa mendatang akan muncul novelis-novelis hebat yang menulis tentang krisis iklim.

Lalu buku-buku itu dibaca secara luas. Diulas di mana-mana dalam jangka waktu yang lama hingga timbul kesadaran dan kesepakatan kolektif secara sukarela untuk bersama-sama berbuat sesuatu untuk mengatasi perubahan iklim.

Saya membayangkan di masa mendatang ada buku sains fiksi tentang krisis iklim yang demikian memukau dan mempunyai daya gerak yang besar sehingga orang-orang yang tidak percaya dengan pemanasan global merasa perlu untuk melarang peredaran buku tersebut.

Apakah fiksi benar-benar bisa menyelamatkan bumi dan manusia dari kepunahan? Saya rasa tidak sesederhana itu. Tapi, selain alasan lebih melibatkan emosi, buku fiksi akan lebih banyak dibaca orang daripada laporan penelitian.

Ketika semakin banyak orang yang tergerak untuk menyuarakan krisis iklim, akan semakin besar tekanan kepada pemimpin-pemimpin negara untuk bertindak lebih cepat dan kongkrit menanggulangi perubahan iklim.

Fiksi mungkin bukan satu-satunya solusi yang masuk akal. Tapi setidaknya fiksi bisa memberikan harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun