"Wah ya memang harus khidmat kok, mas. Di tiap butir klepon ini ada kenangan, kerinduan, inspirasi dan penguatan sekaligus."
"Opo kuwi? Kok ana-ana wae lho."
"Saya itu kan dipaksa Bapak untuk sekolah di Jawa sejak lulus SMP to mas. Saya sebetulnya keberatan lho mas. Baru lulus SMP sudah harus meninggalkan rumah. Berpisah dengan Bapak, Ibu dan saudara. Berpisah dengan teman-teman."
Sebentar ia menyesap kopinya yang sudah dingin lalu melanjutkan.
"Harus hidup di kota yang vibenya beda dengan kota kelahiran saya. Sudah pasti di awal-awal saya tidak kerasan tinggal di sini. Tapi suatu saat, mbak Sekar membelikan saya klepon ini." Ia lalu mengambil dan membuka bungkusan klepon lagi.
"Saat itu ya baru pertama kali itu saya makan klepon. Karena sedang tidak mood, saat itu klepon itu ya hanya saya kulum beberapa saat. Tapi saat saya kunyah langsung mak cruuuttt rasa manis yang memenuhi rongga mulut saya. Lha saya kaget to?"
Baru kali ini Raya cerita mengenai hal ini. Mungkin baru sekarang ia merasa nyaman untuk menceritakannya.
"Ujug-ujug timbul dalam pikiran saya bahwa yang saya alami mirip-mirip dengan klepon. Awalnya hambar. Tapi pasti suatu saat akan manis juga. Mungkin di awal-awal berat harus berpisah dengan keluarga dan teman-teman saya. Tapi suatu saat pasti ada imbalan yang manis."
 Bulatan klepon yang ke-enam kembai masuk ke mulut Raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H