"Ada yang kurang mbak."
"Aku tahu, klepon to?"
"Betul, mbak. Sudah ada yang jualan nggak ya?"
"Lha piye? Opo melu aku nyang pasar golek klepon?"
"Mathuk, mbak."
Mereka lalu jalan kaki ke pasar yang jauhnya tidak sampai 500 meter dari rumah saya. Saya tidak ikut ke pasar. Duduk saja di teras sambil memandangi cahaya merah di timur yang sedikit demi sedikit digantikan cahaya putih terang.
Setengah jam kemudian mereka sudah kembali dari pasar. Si nyonyah rumah meletakkan beberapa bungkus klepon, lopis dan serabi manis di piring. Saya ambil segulung serabi yang dibungkus daun pisang. Satu gigitan besar sudah kukunyah pelan-pelan dan digelontor air teh manis. Pancen benar-benar nikmat.
Beda lagi dengan Raya. Ia memilih klepon. Memang klepon sudah menjadi kudapan kesukaannya sejak masih SMA. Entah apa yang membuatnya begitu gandrung dengan bola-bola empuk yang manis itu.
Kuperhatikan ia sejak menarik lidi yang digunakan untuk menyemat bungkusan daun pisang berisi klepon itu. Membuka bungkusan daun pisang dengan hati-hati, menusuk salah satu klepon dengan lidi penyemat tadi dan memasukkannya ke mulut.
Ia tidak langsung mengunyah klepon yang sudah masuk ke mulutnya. Melainkan hanya ia kulum-kulum beberapa saat. Baru di waktu yang dia anggap pas, dikunyahnya klepon itu. Habis satu klepon, disusul klepon berikutnya hingga empat klepon yang ada di bungkus daun pisang itu berpindah ke perutnya.
"Wong arep mangan klepon wae kok seperti upacara minum teh di Jepang to Ya? Khidmat betul."