Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Tukang Ngeteh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Klepon Uber Alles

2 Oktober 2023   21:31 Diperbarui: 2 Oktober 2023   21:40 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klepon, kudapan yang bikin kangen oleh Eko Wurianto

Raya, sepupu nyonyah rumah yang aslinya dari Riau, tiba-tiba mengetuk pintu rumah kami jam 11 malam. Tentu saja saya terkaget-kaget. Karena ia mendadak berkunjung tanpa memberi kabar terlebih dulu.

"Lha kok njanur kuning to Ya? Dari mana saja kamu ini? Kok nggak kirim kabar dulu"

"Saking Jogja Mas. Ada urusan kantor dari Senin sampai Jum'at sore. Memang nggak ngasih kabar wong tidak ada rencana ke sini."

Rencana awalnya ia mau segera terbang ke Jakarta begitu urusannya di Jogja selesai. Tapi rencananya berubah ketika ia bertemu dengan teman sekelasnya di SMA dulu di hotel tempat ia menginap. Ia jadi kangen suasana kota SMAnya.

Raya ini sudah merantau ke Jawa sejak lulus SMP. Orang tuanya menginginkan ia sekolah di Jawa. Tinggallah ia di rumah kami selama bersekolah di SMA. Selepas SMA ia meneruskan kuliah di Jogja. Dan alhamdulillah diterima kerja di Jakarta selepas kuliah.

Setelah ia selesai mandi, saya ajak ngobrol ia. Bertukar kabar. Menanyakan kabar orang tua dan kerabat yang tinggal di Riau. Sejaman kemudian ia pamit tidur. Memang sudah cukup larut. Saya dan nyonyah rumah pun menyusul tidur.

Sebelum subuh ia sudah bangun. Setengah jam setelah subuh ia membuka pintu depan dan duduk-duduk di teras rumah. Lampu teras ia matikan.

"Saya senang duduk di teras ini habis subuh, mas. Ndelok pergantian gelap ke terang yang berangsur-angsur."

Rumah saya ini menghadap ke utara. Di depan rumah kami ada jalan kampung yang lurus menuju lapangan sepak bola. Jarak rumah saya ke lapangan itu sekitar 200an meter. Setelah lapangan sepak bola itu ada beberapa petak sawah.

Karena tidak ada penghalang, setiap pagi teras kami ini banjir sinar matahari. Sinar matahari mulai ujung sampai bundarannya yang berwarna merah juga bisa kami saksikan dari teras rumah. Saya yang asli sini saja tidak bosan-bosannya memandangi matahari terbit dari teras rumah saya ini, apalagi Raya yang sudah bertahun-tahun tinggal di kota yang padat.

Nyonyah rumah lalu menyajikan kopi untuk Raya dan teh untuk saya. Panas kemebul. Uap panas meliuk-liuk membumbung dari cangkir minum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun