Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Tukang Ngeteh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pakaian Murah dan Sampah Pakaian

29 September 2023   14:08 Diperbarui: 29 September 2023   14:49 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah Pakaian, gambar oleh Eko Wurianto

Obrolan mengenai kaos murah yang dibeli online berlanjut hingga malam Selasa pekan ini. Betapa beruntungnya anak-anak sekarang jika dibandingkan dengan anak-anak zaman dahulu. Ngatimin Dingklik mengenang masa-masa sekolahnya dahulu. Katanya ketika SMP, seragam yang ia pakai di awal masuk SMP adalah seragam satu-satunya yang ia pakai sampai lulus.

Satemo Dokar bercerita bahwa di SD dulu ia pernah memakai seragam yang atasannya putih tapi celananya pramuka. Celana untuk baju putih adalah celana merah. Tapi karena celana merahnya sobek cukup lebar akibat kesangkut pagar, ia terpaksa sekolah dengan seragam tidak matching seperti itu.

Kami semua tertawa mendengar ceritanya. Sastro Carik lalu bercerita saat di SMA dulu ia membaca cerpen Idrus yang berjudul Kisah Sebuah Celana Pendek. Cerpen itu berkisah tentang Kusno yang dibelikan celana pendek oleh ayahnya tetapi kemudian itulah satu-satunya celana yang ia punyai.

"Mengenang masa lalu itu selain membuat kita tersenyum pasti juga membuat kita prihatin. Zaman dulu tidak ada orang yang terhindar dari kesengsaraan. Memang zaman susah."

"Mboten sedaya. Tidak semua lho Pak Estu. Sebagian saja."

"Pancen iyo. Tapi sebagian besar."

"Alhamdulillah, anak-anak kita sekarang tidak mengalami apa yang kita alami dulu. Pilihan pakaian sekarang banyak sekali dan murah-murah. Tidak seperti kita dulu yang beli baju hanya setahun sekali. Pas lebaran saja."

"Sayangnya, karena murah, anak-anak sekarang jadi boros ya. Tiap kepingin model baju tertentu, ya langsung dibeli begitu saja. Nggak pakai mikir. Lemari jadi tidak muat dengan baju-baju yang mereka punyai."

"Nah... itu. Karena keseringan beli baju akhirnya banyak baju yang nggak kepakai numpuk di lemari. Jadi sarang debu."

Benar juga, pikir saya. Orang dulu tidak banyak memiliki baju. Saya ingat dulu bapak saya membagi baju yang dimilikinya menjadi dua. Yang pertama adalah baju-baju untuk kondangan atau acara-acara tertentu. Baju semacam ini ya hanya dipakai saat ke kondangan saja. Yang kedua adalah baju-baju yang dipakai untuk harian. Baju harian ini umumnya baju-baju usang dan seringkali sudah lusuh.

Baju-baju yang sudah benar-benar tidak bisa dipakai dialihfungsikan sebagai gombal. Dipakai untuk lap atau keset. Karena baju baru seringkali hanya dibeli pas waktu lebaran, momen membeli baju baru itu menjadi momen yang sangat dinantikan.

"Segala sesuatu yang berlebihan itu selalu tidak baik."

Tiba-tiba terdengar suara Profesor Nalar Jembar. Kami semua menoleh ke arah suaranya. Professor Nalar memang jarang ikut ronda. Kesibukannya luar biasa karena harus mengajar di beberapa universitas di luar kota. Kadang berminggu-minggu dia tidak pulang.

Setelah melepas sandal, dia naik ke pos ronda, menyalami kami semua dan meletakkan seplastik gorengan.

"Baju-baju bekas yang tidak dipakai itu bukan hanya menjadi sampah. Tapi juga dapat mencemari lingkungan. Tidak ramah lingkungan"

"Lha kok saget Prof?"

"Bahan pakaian yang kita pakai itu tidak semuanya ramah lingkungan. Ada bahan-bahan pakaian yang mengandung mikroplastik. Mikroplastik ini luruh bersama air ketika dicuci dan dikeringkan. Terus ia terbawa air kembali ke laut. Akhirnya laut tercemar mikroplastik ini."

"Memang bagaimana bahayanya mikroplastik ini Prof?"

"Mikroplastik ini akan termakan oleh ikan. Ikan kita konsumsi. Ya sudah, mikroplastik ini terus masuk ke tubuh kita. Ini berbahaya. Bisa menyebabkan kanker."

"Waduh... kok ngeri gitu ya?"

"Ya memang ngeri. Hanya karena kita tidak bisa ngerem untuk terus-terusan membeli baju itu. Ada fakta lagi yang bikin kita ngomplong. Untuk bikin satu kaus, dibutuhkan 2.700 liter air. Air sebanyak itu cukup untuk kamu minum selama 900 hari, Min"

"Yah bagaimana lagi Prof, wong kalau kita kumpul sama orang itu lak ya perlu berpakaian yang pantes. Kalau pakaiannya itu-itu saja ya nggak enak. Akhirnya ngoleksi pakaian. Belum lagi kalau mau nuruti mode."

"Orang-orang yang sadar akan pelestarian lingkungan sudah nggak mikir penampilan lagi, Min. Pelestarian lingkungan jauh lebih penting. Kamu tahu tidak? Ada orang yang tiap hari pakaiannya cuma kaus abu-abu saja. Nggak pakai yang lainnya."

"Waduh, ekstrim kalau itu."

"Ya memang sepertinya kebangetan. Tapi dengan begitu ia tidak berlebihan membeli pakaian. Coba kamu lihat orang Baduy itu. Mereka hanya pakai pakaian yang kalau warnanya tidak putih ya hitam. Nggak ada warna lainnya."

"Oalah iya, ya."

"Dengan menerapkan kesederhanaan dalam berpakaian, kita sudah ikut andil melestarikan lingkungan."

"Kalau boleh saya simpulkan Prof. intinya kemoderenan menciptakan kemudahan. Tapi kemoderenan juga menciptakan kerusakan lingkungan. Benar begitu Prof?"

"Ada benarnya walaupun tidak semua begitu. Kamu tahu tidak kalau baru-baru ini ada orang Australia yang ikut tantangan untuk memakai baju yang sama selama 100 hari. Dia berhasil mengikuti tantangan itu dan hanya mencuci bajunya sebanyak empat kali."

"Wah, kalau itu bukan mau menyelamatkan lingkungan Prof. Tapi kemproh."

Kami semua tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun