Oleh: Eko Windarto
Dikutip dari hukumonline.com: RUU Pilkada memuat ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah sesuai putusan MK No.60/PUU-XXII/2024. Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon kepala daerah.
Berdasarkan informasi di atas, putusan MK No.60/PUU-XXII/2014 yang disebutkan terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, bukan dalam pemilihan presiden.
Pemerintah dan DPR kemudian mengadopsi putusan MK tersebut dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UU.
Namun, dalam konteks demokrasi, penting untuk menempatkan aspek keterwakilan politik dan partisipasi publik sebagai prinsip dasar.
Hal ini juga membutuhkan peningkatan kesadaran dan partisipasi aktif warga negara dalam proses politik, serta perlindungan hak-hak asasi manusia dan kebebasan berbicara.
Selain itu, penting untuk mengawasi bahwa pemerintah dan DPR tidak menggunakan ambang batas sebagai alat untuk membatasi partisipasi politik dan menentukan siapa yang dapat atau tidak dapat mencalonkan diri.
Jika ambang batas digunakan secara buruk, hal ini dapat merusak keseimbangan kekuasaan dan mengurangi keterwakilan politik, khususnya bagi partai-partai kecil dan independen.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa ambang batas yang diatur dalam undang-undang atau putusan pengadilan didasarkan pada pertimbangan yang jelas dan adil, serta memperhatikan konteks dan kepentingan lokal.
Partai politik kecil dan independen harus diberikan kesempatan yang sama dengan partai-partai besar untuk berpartisipasi dalam proses politik dan mencalonkan diri dalam pemilihan.