Oleh: Eko WindartoÂ
Perang selalu didampingi oleh tragedi besar yang merenggut ribuan nyawa setiap harinya. Namun, selain itu, peperangan juga telah memberikan dampak besar pada masyarakat, khususnya pada wanita. Perang bukan hanya membawa kerusakan fisik dan mental bagi laki-laki yang menjadi tentara, tetapi juga membawa dampak yang sama buruknya bagi wanita.
Pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap wanita pada masa perang adalah masalah yang sering terdengar tetapi jarang dibahas. Wanita yang menjadi korban seringkali merasakan tekanan dan trauma yang lebih besar dari yang dialami para prajurit pria. Sementara itu, wanita yang menjadi penghibur selama perang juga memberikan dampak psikologis dan fisik yang signifikan.
Namun, ada pula wanita yang memilih untuk memerangi diskriminasi gender dan kekerasan seksual selama perang. Artikel ini akan membahas sejarah pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap wanita pada masa perang, dampak psikologis dan fisik menjadi wanita penghibur pada masa perang, serta peran wanita dalam memerangi diskriminasi gender dan kekerasan seksual pada masa perang.
===
Sejarah Pelecehan dan Eksploitasi Seksual Terhadap Wanita pada Masa Perang
Pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap wanita pada masa perang bukanlah hal yang baru. Hal ini telah sering terjadi sejak zaman kuno hingga abad ke-21. Pelecehan mulai terjadi ketika sekelompok pria mengambil alih sebuah area atau sebuah kota dan menganggap diri mereka sebagai pemenang, mereka sering mengambil kebebasan atas apa yang mereka anggap sebagai hadiah kemenangan -- termasuk wanita-wanita yang mereka temukan di sana.Â
Dalam sejarah, wanita-wanita dari negara yang kalah akan lebih mungkin mengalami kekerasan seksual, meskipun wanita-wanita pada negara pemenang juga bisa mengalami kekerasan seksual oleh para prajurit dari negaranya sendiri.
Pada masa Perang Dunia II, wanita-wanita yang berada di negara yang kalah, terutama di Asia Timur, mengalami pelecehan seksual yang sangat brutal. Di Korea, China, dan Filipina, wanita-wanita sering diculik dan diperkosa oleh tentara Jepang. Wanita Korea bahkan dipekerjakan sebagai "wanita penghibur" oleh tentara Jepang dan dipaksa untuk melayani tentara Jepang di "stasiun kenyamanan". Selain itu, selama pengepungan Berlin oleh tentara Sekutu pada Perang Dunia II, diperkirakan lebih dari 100.000 wanita Jerman diperkosa oleh tentara Rusia.
Namun, pelecehan dan eksploitasi seksual pada masa perang tidak hanya terjadi di Asia ataupun di Perang Dunia II. Selama Konflik Bosnia pada 1990-an, diperkirakan 20.000-50.000 perempuan Bosniak diperkosa oleh pasukan Serbia, dan selama perang sipil di Republik Demokratik Kongo, diperkirakan ada setidaknya 200.000 wanita dan anak perempuan yang telah diperkosa.
Dalam beberapa kasus, pelecehan dan eksploitasi seksual tidak hanya dilakukan oleh pejuang, tetapi juga oleh staf pihak medis dan bahkan oleh pekerja bantuan kemanusiaan. Ini terbukti dalam skandal seksual yang melanda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terjadi pada awal 2000-an ketika muncul laporan tentang pasukan penjaga perdamaian PBB yang melakukan perdagangan seks di Kongo.
Dampak Psikologis dan Fisik dari Menjadi Seorang Wanita Penghibur pada Masa Perang
Wanita-wanita penghibur yang ditugaskan untuk menemani para tentara pada masa perang juga merasakan dampak yang sama buruknya seperti yang dialami oleh orang-orang yang berada di garis depan militer. Banyak dari mereka yang mengalami tekanan psikologis yang sangat besar karena harus memenuhi tuntutan para tentara dan berada dalam kondisi yang sangat tidak aman. Mereka harus bermain peran untuk menghibur para tentara, namun sebenarnya mereka sendiri juga merasa sangat tertekan dan mungkin merasa muak dengan pekerjaan dan kondisi yang mereka alami.
Selain itu, wanita penghibur juga sering terpapar dengan penyakit menular seksual, seperti gonore dan sifilis. Meskipun mereka dapat diobati dengan antibiotik, kondisi dan pengobatan yang buruk membuat infeksi tersebut sulit diobati dan dapat memberikan dampak negatif. Selain itu, kehidupan mereka yang tidak teratur dan minimnya akses ke perlindungan kesehatan membuat mereka rentan terhadap permasalahan kesehatan lainnya.
Peran Wanita dalam Memerangi Diskriminasi Gender dan Kekerasan Seksual pada Masa Perang
Meskipun wanita terkadang dianggap sebagai korban dalam peperangan, wanita juga telah memilih untuk mengambil peran aktif dalam memerangi diskriminasi gender dan kekerasan seksual pada masa perang. Mereka seringkali mengambil tindakan seperti mendirikan kelompok advokasi dan organisasi non-pemerintah untuk membantu korban pelecehan dan kekerasan seksual. Mereka juga bekerja sama dengan pekerja bantuan internasional untuk menyiapkan program bantuan yang terfokus pada pencegahan dan perlindungan korban pelecehan dan eksploitasi seksual.
Seorang wanita yang berpartisipasi dalam kegiatan medis dan keperawatan sering menjalankan peran yang sangat penting dalam membantu para korban pelecehan dan kekerasan seksual. Mereka melayani korban dengan penuh perhatian dan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik. Dengan cara itu, mereka bisa memberikan dukungan dan pengobatan yang lebih baik untuk para korban.
Wanita yang terlibat dalam pekerjaan jurnalistik juga berbicara tentang kasus pelecehan dan eksploitasi seksual yang terjadi pada masa perang. Dengan melakukan kajian dan riset terhadap situasi di lapangan, mereka akan membuka informasi dan fakta yang benar mengenai tindakan yang sering diabaikan, seperti masalah ini.
Pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap wanita pada masa perang adalah masalah serius yang seringkali diabaikan. Wanita yang menjadi korban seringkali merasakan trauma yang lebih besar daripada yang dialami oleh para prajurit pria. Selain itu, wanita yang menjadi penghibur selama perang juga mengalami dampak fisik dan psikologis yang signifikan. Namun, ada juga wanita yang memilih untuk memerangi diskriminasi gender dan kekerasan seksual pada masa perang.Â
Mereka memainkan peran penting dalam membantu para korban pelecehan dan eksploitasi seksual. Masalah ini harus terus diberantas, dan upaya perlindungan serta rehabilitasi bagi korban harus terus dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait.
Sekar Putih, 2082024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H