tak pernah kering sampai beribu musim yang selalu berubah
sebenarnya puisi ini sudah terbakar waktu dan sirna dalam peluhmu
mengapa abunya masih membentuk aksara rindu melimpah ruah
harumnya tak pernah musnah meski jadi anginÂ
hingga kulit bergetar hebat tak sanggup menahan kehadirannyaÂ
jiwaku menari mengikuti indahnya cahaya di atas cahayamu
senyumanmu yang terlanjur tergenggam, melekat dalam jiwa
dan air matamu yang menetes begitu saja dari lelehan rasa
membuat hatiku terhujam belati dan tak ada yang sanggup mencabutnya
ah. . . biarlah desah ini kutitipkan pada daun- daun hijau muda
agar geloranya abadi sampai ke ranting-ranting pohon surga