Oleh: Eko Windarto
Pada 3 Maret 2021, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan keputusan bahwa wilayah Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, yang diduduki oleh Israel, merupakan wilayah yang tercakup oleh yurisdiksi pengadilan. Keputusan tersebut memungkinkan ICC untuk memulai penyelidikan terhadap tuduhan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di wilayah tersebut. Pengadilan Kriminal Internasional mencatat bahwa sejak 13 Juni 2014, pihak Israel melancarkan serangan terhadap Gaza, yang mengakibatkan kematian 2.251 orang Palestina, termasuk 1.462 warga sipil, dari jumlah tersebut sekitar 550 anak-anak.
Namun, Israel menolak untuk mengakui keputusan ICC ini dan menganggapnya sebagai upaya untuk melegitimasi kejahatan terhadap negara Yahudi dan kepentingan nasionalnya. Sejumlah pejabat Israel pun diisukan telah melakukan usaha untuk menghindari surat penangkapan yang akan diterbitkan oleh ICC. Salah satu pejabat senior yang terkena dampak dari kebijakan ini adalah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Menurut laporan terbaru, ICC akan mengeluarkan surat penangkapan ke Benjamin Netanyahu dan sejumlah pejabat senior Israel lainnya segera. Hal ini disebabkan oleh tuduhan pembantaian warga sipil di Gaza, yang mencapai 34.000 lebih orang akibat perang Israel di tanah Palestina itu. Netanyahu sendiri telah dihadapkan pada beberapa kasus korupsi dalam beberapa tahun terakhir. Kedua hal ini memunculkan spekulasi bahwa kebijakan yang diambil oleh ICC memiliki latar belakang politik, ketimbang semata keputusan hukum.
Meskipun demikian, orang-orang Palestina secara meluas menyambut keputusan ICC ini sebagai langkah penting dalam menegakkan keadilan. Mereka mengharapkan bahwa keputusan ini akan membawa perubahan positif dalam krisis di Timur Tengah dan dapat membangun ulang kepercayaan antara Palestina dan Israel. Namun, ada juga kritik dari kelompok Yahudi yang menganggap keputusan ICC sebagai upaya untuk mengkriminalisasi negara Israel.
Di sisi lain, keputusan ICC ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pengadilan tersebut. Seperti yang kita tahu, Israel beralasan bahwa pengadilan tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan kasus di Israel karena tidak termasuk anggota ICC, meskipun mayoritas negara di dunia telah meratifikasi Statuta Roma. Selain itu, pihak Israel juga menuduh bahwa pengadilan tersebut cenderung tidak objektif dan tendensius dalam memutuskan kasus.
Namun, keputusan ICC menunjukkan bahwa semua orang (termasuk pejabat terkenal) yang melakukan kejahatan terhadap manusia harus bertanggung jawab atas tindakan mereka di muka hukum. ICC telah membuka pintu bagi Palestina untuk meneruskan kasus-kasus tersebut ke pengadilan dan berharap bahwa keputusan ini akan membawa kedamaian dan keadilan bagi rakyat Palestina dan Israel.
Memahami Lebih Lanjut Tentang Konflik di Gaza
Gaza adalah wilayah yang secara politis diakui sebagai bagian dari negara Palestina. Setelah perang Arab-Israel pada tahun 1948, wilayah tersebut dikuasai oleh Mesir, hingga kemudian diduduki oleh Israel pada tahun 1967. Sejak itu, Gaza mengalami banyak konflik yang melibatkan Israel dan Palestina, yang sering kali kali berujung pada kekerasan dan pengrusakan wilayah.
Pada tahun 2007, Hamas, kelompok Islamis militan yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, mengambil alih kekuasaan di Gaza dengan cara kekerasan. Sejak itu, wilayah tersebut menjadi subyek dari blokade Israel dan dikelilingi oleh tembok beton setinggi 8 meter guna mencegah pergerakan masuk dan keluar ke wilayah itu.
Pada tahun 2014, konflik di Gaza kembali memanas setelah serangan Israel yang mengakibatkan ratusan warga sipil Palestina terbunuh. Serangan ini diawali pada tanggal 13 Juni, ketika Israel melakukan beberapa serangan yang dianggap sebagai balasan atas pembunuhan tiga remaja Yahudi oleh Hamas.