Oleh: Eko Windarto
Bilamana agama-agama formal susut pengaruhnya, maka kaum terpelajar akan lari mencari penyelamatannya pada puisi, demikian ramalan Mathew Arnold, penyair dan kritikus Inggris abad XIX. Kini, Â ketika abad XX sudah mendekati usai, ramalan yang pernah bergaung abad lalu, terasa bergetar kembali. Disaat-saat dunia memuja kelamin dan kekerasan serta peranan organisasi-organisasi keagamaan formal hanya berhenti pada anjuran saja dan tidak disertai contoh para pemimpinnya, sedang kenyataan di luar jauh menyimpang dari apa yang dianjurkan, terjadi kekerasan dan caci-maki di mana-mana, anak-anak muda mencari bentuk penyelamatan pada puisi, yang menjadi pelepas harapan mereka. Maka hubungan agama dan sastra ditandai oleh masa yang kritis. Tetapi apakah ramalan tadi betul-betul akan terjadi, masih perlu diuji?
Kita bisa melihat gejala susutnya pengaruh agama-agama formal pada sikap dan tingkah laku masyarakat dalam mengatasi persoalan-persoalan kehidupan pada umumnya. Dan akan tampak nyata, amat kontras jika dibandingkan etika yang terkandung dalam masing-masing agama tersebut. Kebingungan para pemimpin agama, sebagai tolok ukur para umat dalam mengambil sikap dan kakunya penafsiran, menyebabkan, kharisma agama-agama formal merosot karena tidak sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Maka timbul beberapa gerakan kebangunan, yang berupaya memberikan penafsiran baru, yang dirasa sesuai dengan suara hati nurani, suatu penyesuaian dengan alam baru, yang upaya mendekatkan diri  dengan Roh Allah, bisa dimengerti kalau gerakan mereka agak kontras dengan lembaga-lembaga resmi yang ada. Dalam bidang sastra pantulan dari keadaan masyarakat tersebut, nampak dari karya-karya yang coba mempertahankan kembali apa-apa dalam kelembagaan agama formal, yang sudah mapan, kuat dan berakar. Sebagai contoh puisi di bawah ini;
DI SINI
di sini, pertarungan agama-agama mengundang pedang
merupakan bayang-bayang yang unik kau tebang
di sini, tujuan hidup kau tutup dengan dalil-dalil panjang mengambang
sebelum mengenal tembang surga yang kau jelang
di sini, pengembara bahasa sibuta meraba-raba
mencari kemenangan rasa yang tak kunjung tiba
di sini, kekalahan dan luka
menjadi puisi pusat upacara muara sukma
hitam putih menjadi kebutaan sehari-hari
sebagai tradisi melupakan hati sendiri
wahai... terang mentari mayang
sirnakan kebutaan, sirnakan kegelapan, dari langit hati yang paling gamang
ho hoi beraneka makna hakiki meminta sajakku mengukir hati
meronce malam dan pagi yang kuuntai dalam puisi
hingga menuangkan anggur kehidupan dalam cawan budi pekerti