Mohon tunggu...
Eko Windarto
Eko Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

esai

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kubangun Puisi Dalam Masyarakat

13 Januari 2024   22:11 Diperbarui: 13 Januari 2024   22:26 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh: Eko Windarto

Bilamana agama-agama formal susut pengaruhnya, maka kaum terpelajar akan lari mencari penyelamatannya pada puisi, demikian ramalan Mathew Arnold, penyair dan kritikus Inggris abad XIX. Kini,  ketika abad XX sudah mendekati usai, ramalan yang pernah bergaung abad lalu, terasa bergetar kembali. Disaat-saat dunia memuja kelamin dan kekerasan serta peranan organisasi-organisasi keagamaan formal hanya berhenti pada anjuran saja dan tidak disertai contoh para pemimpinnya, sedang kenyataan di luar jauh menyimpang dari apa yang dianjurkan, terjadi kekerasan dan caci-maki di mana-mana, anak-anak muda mencari bentuk penyelamatan pada puisi, yang menjadi pelepas harapan mereka. Maka hubungan agama dan sastra ditandai oleh masa yang kritis. Tetapi apakah ramalan tadi betul-betul akan terjadi, masih perlu diuji?

Kita bisa melihat gejala susutnya pengaruh agama-agama formal pada sikap dan tingkah laku masyarakat dalam mengatasi persoalan-persoalan kehidupan pada umumnya. Dan akan tampak nyata, amat kontras jika dibandingkan etika yang terkandung dalam masing-masing agama tersebut. Kebingungan para pemimpin agama, sebagai tolok ukur para umat dalam mengambil sikap dan kakunya penafsiran, menyebabkan, kharisma agama-agama formal merosot karena tidak sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Maka timbul beberapa gerakan kebangunan, yang berupaya memberikan penafsiran baru, yang dirasa sesuai dengan suara hati nurani, suatu penyesuaian dengan alam baru, yang upaya mendekatkan diri  dengan Roh Allah, bisa dimengerti kalau gerakan mereka agak kontras dengan lembaga-lembaga resmi yang ada. Dalam bidang sastra pantulan dari keadaan masyarakat tersebut, nampak dari karya-karya yang coba mempertahankan kembali apa-apa dalam kelembagaan agama formal, yang sudah mapan, kuat dan berakar. Sebagai contoh puisi di bawah ini;

DI SINI

di sini, pertarungan agama-agama mengundang pedang
merupakan bayang-bayang yang unik kau tebang

di sini, tujuan hidup kau tutup dengan dalil-dalil panjang mengambang
sebelum mengenal tembang surga yang kau jelang

di sini, pengembara bahasa sibuta meraba-raba
mencari kemenangan rasa yang tak kunjung tiba

di sini, kekalahan dan luka
menjadi puisi pusat upacara muara sukma

hitam putih menjadi kebutaan sehari-hari
sebagai tradisi melupakan hati sendiri

wahai... terang mentari mayang
sirnakan kebutaan, sirnakan kegelapan, dari langit hati yang paling gamang

ho hoi beraneka makna hakiki meminta sajakku mengukir hati
meronce malam dan pagi yang kuuntai dalam puisi
hingga menuangkan anggur kehidupan dalam cawan budi pekerti

Batu, 29122017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun