Membina hubungan yang bahagia merupakan tujuan dari pernikahan. Kita sebagai keluarga akan mendambakan keluarga yang bahagia, keluarga yang tidak ribut setiap hari, tidak terjadi konflik antara anggota keluarga, keluarga yang menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh anggota keluarga.Â
Oleh sebab itu tujuan dari membina rumah tangga adalah mencari kebahagiaan hidup. Hampir seluruh budaya bangsa menempatkan kehidupan keluarga sebagai ukuran kebahagiaan yang sebenarnya.
Meski seseorang gagal dalam berkarir, tetapi sukses membangun keluarga yang kokoh dan sejahtera, maka tetaplah ia dipandang sebagai orang yang sukses dan berbahagia. Sebaliknya ada orang yang sukses dalam berkarir, tetapi keluarganya berantakan, maka ia tidak disebut orang yang beruntung, karena betapa pun sukses diraih, tetapi kegagalan dalam rumah tangganya akan tercermin di wajahnya, tercermin pula dalam pola kehidupannya.
Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah sosial manusia. Secara psikologis, kehidupan berkeluarga, baik bagi suami, istri, anak-anak, cucu, cicit, atau bahkan mertua merupakan pelabuhan perasaan. Ketentraman, kerinduan, keharuan, semangat dan pengorbanan, semuanya berlabuh di lembaga yang bernama keluarga.Â
Secara alamiah, ikatan kekeluargaan memiliki nilai kesucian, oleh karena itu bukan hanya di masyarakat tradisionil kesetiaan keluarga di pandang mulia, pada masyarakat pun, kesetiaan keluarga masih menjadi nilai keindahan, meski persemayaman keindahan itu ada di alam bawah sadar.
Menikah tidak terlalu sulit, tetapi membangun keluarga bahagia bukan sesuatu yang mudah. Pekerjaan membangun, pertama harus didahului dengan adanya gambar dari konsep dari bangunan yang diinginkan. Gambar bangunan (maket) bisa didiskusikan dan diubah sesuai dengan konsep fikiran yang akan dituangkan dalam wujud bangunan itu.Â
Demikian juga dengan membangun keluarga bahagia, terlebih dahulu orang harus memiliki konsep tentang keluarga bahagia.
Banyak kriteria yang disusun orang untuk menggambarkan sebuah keluarga yang bahagia, bergantung ketinggian budaya masing-masing orang, misalnya paling rendah orang mengukur kebahagiaan keluarga dengan tercukupinya sandang, pangan, papan.Â
Bagi orang berpendidikan tinggi atau tingkat sosialnya tinggi, maka konsep sandang bukan sekedar pakaian penutup badan, tetapi juga simbol dari suatu makna. Demikian juga dengan pangan bukan sekedar kenyang atau standar gizi, tetapi ada "selera" non gizi yang menjadi konsepnya.
 Demikian seterusnya tempat tinggal (papan), kendaraan, perabotan bahkan hiasan, kesemuanya itu bagi orang tertentu mempunyai kandungan makna budaya. Secara sosiologis psikologis, kehadiran anak dalam keluarga juga dipandang sebagai parameter kebahagiaan.
Rumah tangga juga demikian, ada konsepnya, istri bukan sekedar perempuan pasangan tempat tidur dan ibu yang melahirkan anak, suami bukan sekedar lelaki, tetapi ada konsep aktualisasi diri yang berdimensi horizontal dan vertical. Orang bisa saja menunaikan hajat seksualnya di jalanan, dengan siapa saja, tetapi itu tidak identik dengan kebahagiaan.Â