Mohon tunggu...
Eko S Nurcahyadi
Eko S Nurcahyadi Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis, Pegiat Literasi, aktivis GP Ansor

Aktivis di Ormas, Pegiat Literasi, Pendididikan di Pesantren NU, Profesional Muda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hanya Satu Jalan Menuju Bahagia Berkelanjutan: Kembalilah ke Fitrah!

25 Mei 2020   06:44 Diperbarui: 25 Mei 2020   08:02 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fitrah manusia itu suci, bersih, damai, cinta dan kasih sayang. Secara alamiah jiwa manusia selalu mengajak ke arah keutamaan.  Ini merupakan natural of law yang merupakan anugerah Tuhan Sang Pencipta.

Dengan begitu manusia akan mendapatkan kebahagiaan hanya jika berpikir dan berbuat sesuai fitrahnya. Hanya saja manusia juga dibekali hawa nafsu yang fungsi dasarnya sebagai pendorong untuk melakukan sesuatu dalam hidupnya.

Berangkat dari sinilah kemudian banyak pilihan muncul di hadapan manusia. Anugerah berupa syahwat yang semestinya didudukkan sebagai tenaga pendorong bisa berubah menjadi tujuan hidup.

Dilukiskan oleh ulama besar masa lalu Al Arif Billah Syaikh Abu Hamid Al Ghazali dalam magnum opus -nya Ihya Ulumuddin bahwa syahwat layaknya kuda liar yang hanya bermanfaat setelah ditundukkan.

Namun demikian di sepanjang sejarah manusia hanya sedikit yang bisa mengendalikan hawa nafsu. Kebanyakan manusia tertunggangi oleh syahwat dan hawa nafsunya. Reportnya atas nama peradaban juga memberi ruang ekspresi yang sangat luas untuk mengemukakanya syahwat duniawi.

Lebih-lebih di era zaman akhir ini dorongan hawa nafsu menjadi ukuran utama kemajuan budaya dan peradaban. Karena itu menjadi keniscayaan bila kemudian terjadi banalitas dalam penurunan standar moral, runtuhnya norma etika dan ambyar -nya ukuran estetika.

Monster Sosial Media

sumber merdeka.com
sumber merdeka.com
Nilai-nilai individualisme kehidupan urban yang berakar pada eksisnya paham liberalisme dan kapitalisme kemudian menjadi budaya global. Gejala itu semakin masif dan meluas setelah akhir abad 20 yang ditandai runtuhnya tembok Berlin, liberalisme menjadi satu-satunya ideologi dunia.

Akibatnya banyak penyakit sosial tak terdiagnosis penyebabnya. Kriminalitas jenis baru banyak bermunculan dalam waktu singkat menyebar laiknya pandemi global. Sementara para pemikir belum final merumuskan definisi kejahatan baru apalagi aparat penegak hukum belum punya landasan melakukan penindakan.

Tercatat tak lama setelah era media sosial menjadi moda interaksi dan komunikasi publik dunia keberadaannya langsung dimanfaatkan oleh pihak-pihak syarat kepentingan sektoral. 

Tahun 2008 menjadi awal pemanfaatan sosial media untuk keunggulan kontestasi. Barack Obama memperoleh kemenangan mutlak melawan rival utamanya Jon Mc Cain karena memanfaatkan media sosial Facebook generasi pertama.

Di satu sisi itu merupakan berita baik setelah masyarakat demokrasi dan pelaku politik cukup lama disubordinsasi dan dikibuli oleh lembaga survei yang menjual grafik polling. Namun kolaborasi sosial media dengan politik dengan cepat merubah wajahnya menjadi monster menyeramkan kehidupan sosial kemasyarakatan di seluruh penjuru dunia.

Konten provokatif, meme pembunuhan karakter dan berita hoax dalam jumlah ribuan melenggang tanpa kawalan. Hal itu terutama sejak Facebook memperoleh tandem platform sosial media Twitter dengan tawaran medali trending topic -nya.

Masyarakat Indonesia mulai merasakan dahsyatnya sosial media sebagai alat pemecah belah sejak tahun 2012. Kemudian diperparah pada Pilpres 2014 dan mencapai puncaknya pada Pilpres 2019. Formulasi atas realitas daring baru melembaga sejak diketoknya UU ITE nomor 11 tahun 2008. Namun UU itu seakan tidur bertahun-tahun hingga 2014 baru ditegakkan setelah marak beredarnya berita hoax dan konten negatif-provokatif.

Hal yang sama juga terjadi pada trend ekonomi dan keuangan untuk transaksi secara virtual. E-commerce dan e-money yang berkembang hingga melahirkan raksasa-raksasa bisnis online tanpa regulasi memadai dalam waktu cukup lama. Baru setelah masalah bermunculan kemudian lahir peraturan Bank Indonesia tentang pemakaian uang virtual tahun 2018.

Jadi memang ada keterlambatan respon oleh pemangku kewenangan dalam menyikapi perkembangan teknologi yang menjadi pilar perubahan anatomi sosial, masyarakat dan politik. Menjadi pelajaran penting di kemudian hari untuk lebih antisipatif sebelum terjadi kejadian fatal seperti perpecahan dan polarisasi tajam kehidupan sosial. Juga problem ekonomi dan keuangan fundamental terkait makin dominannya praktek bisnis dan transaksi daring.

Merajut Kembali Harmoni Sosial Kemanusiaan

Peradaban seharusnya dibangun diatas landasan nilai yang meliputi aspek sosial, kemanusiaan dan spiritualitas. Sehingga kemajuan peradaban tidak kemudian bermutasi menjadi berhala yang menjadi tiran bagi manusia sebagai kreatornya.

Kontruksi peradaban perlu didesain ulang supaya selaras dengan nilai-nilai dan kemanfaatan yang tidak menggerus kemanusiaan. Penting juga dirumuskan makna filosofis rancangan produk teknologi yang akan diluncurkan ke pasar dunia.

Fitrah manusia dan kemanusiaan harus ditempatkan pada posisi terdepan untuk memperoleh kerangka bangun budaya dan peradaban yang akan membawa kemaslahatan.

elements.envato.com
elements.envato.com
Dengan demikian material atau soft material nya memiliki inner compas yang lebih aman dari kemungkinan tubrukan dengan rambu-rambu moral universal. Teknologi jenis ini hanya bisa tercipta jika di planet bumi ini perkembangan hi-touch mampu mengimbangi cepatnya gerak maju hi-tech. 

Sudah pasti sangat penting memberlakukan regulasi yang ketat yang mengatur pemanfaatan produk-produk peradaban untuk kemaslahatan hakiki. Oleh karena itu rumusan filosofis untuk regulasi tersebut sepatutnya mencakup semua aspek nilai kemanusiaan yang paling fundamental.

Selama ini hi-touch tertinggal jauh dari laju perkembangan teknologi. Narasi filsafat, standar normal, rumusan nilai-nilai dan konsep-konsep sosiologi masih mengacu pada textbook klasik. Sudah terlampau lama warga dunia tidak memperoleh pijakan filsafat baru yang lebih kompatibel dengan kompleksitas yang terjadi di zaman baru.

Demikian pula dengan absennya acuan moral baru yang sanggup melindungi identitas kemanusiaan ditengah riuhnya kehidupan sosial dan ekonomi serba digital. Tak jauh beda dengan konsep-konsep sosiologi yang juga perlu pemutakhiran segera. 

Lebih parah lagi adalah penggunaan qaidah fiqih dan ushul fiqih yang perlu penyempurnaan secara radikal. Cara pandang, penyesuaian sikap dan cara peribadatan pada situasi darurat akibat pandemi Covid19 mengindikasikan bahwa para agamawan yang paling tertinggal dalam konsolidasi doktrin teologis dan formula yuridis.

Tugas para pemuka hi-touch terlalu berat kalau hanya mengandalkan nalar. Akses termudah adalah dengan berlandasan pada fitrah manusia dan kemanusiaan yang memungkinkan cepat terpenuhinya kebutuhan hi-touch.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun