Mohon tunggu...
Eko S Nurcahyadi
Eko S Nurcahyadi Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis, Pegiat Literasi, aktivis GP Ansor

Aktivis di Ormas, Pegiat Literasi, Pendididikan di Pesantren NU, Profesional Muda

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

PR Sungkemanku Baru Beres Setelah Dewasa

22 Mei 2020   15:45 Diperbarui: 22 Mei 2020   15:37 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran selalu menyimpan banyak cerita. Umumnya sejauh itu lebih banyak cerita suka dibanding pengalaman susahnya. Mudah dipahami karena lebaran merupakan hari raya yang akan selalu dipenuhi acara perayaan.

Di daerah asal saya masyarakatnya tidak fasih menyebut hari raya lebaran atau idul fitri, maka tanggal 1 syawal mereka memilih bunyi lafal riyoyo sebagai ganti hari raya. Kemudian menyukai lafal bodo (bakdo) daripada lebaran. Sebuah kata hasil proses naturalisasi lokal kalimah ba'da (bermakna sesudah) dari bahasa Arab. Sehingga kegiatan silaturahmi lebaran mereke sebut dengan badan (berlebaran) berkata dasar bodo tadi.

Sejatinya Idul Fitri adalah merupakan momen penuntasan selesainya pelaksanaan ibadah puasa untuk memperoleh kesucian jiwa dan penebusan dosa. Sehingga para ulama salaf mengajarkan setelah dosa personal pada sang Khalik diampuni maka pada hari raya idul Fitri permohonan maaf diteruskan kepada sesama.

Prakteknya di kehidupan sosial dianjurkan bersilaturahmi yang didalamnya ada sesi sungkeman memohon maaf atas semua kekhilafan baik yang disengaja maupun tida disengaja. Lazimnya yang muda sowan kepada yang lebih tua.

Prosesi sungkeman pun menurut tradisi yang berlaku ada kaifiyah (tata cara) dan rangkaian kalimat standarnya. Untuk bisa fasih dan luwes perlu sedikit belajar dan pengalaman mempraktekannya.

Lebaran Masa Kecil

Menginjak masa kanak-kanak saya selalu bersama bapak ibu melakukan silaturahmi lebaran ke kediaman saudara-saudara tua dalam satu trah keluarga. Pada kesempatan itu saya banyak merekam bagaimana prosesi badan (silaturahmi lebaran) beserta ujung (sungkem) yang dicontohkan bapak ibu kepada saudara yang lebih tua.

https://m.brilio.net/ngakak/video-anak-kecil-minta-maaf-lebaran-ini-bikin-gemas-jujur-banget-160710t.html
https://m.brilio.net/ngakak/video-anak-kecil-minta-maaf-lebaran-ini-bikin-gemas-jujur-banget-160710t.html
Kelak setelah mulai lepas dari masa kanak-kanak yang ditandai munculnya keberanian untuk badan bersama teman-teman sebaya standar praktek silaturahmi lebaran tersebut dengan lugas dan lucu kami lakukan. Paling lucu saat giliran ujung harus dilakukan. Setelah lama tuan rumah menunggu ternyata tak ada sepatah katapun yang terucap oleh anak-anak. Tuan rumah pun ikut bingung akan menjawab apa.

Kekonyolan-kekonyolan khas anak-anak itu mengundang tawa gemes para tamu seisi ruangan.

Ada saja kejadian konyol lebaran di masa kecil. Penulis mempunyai satu kejadian paling lucu dan membekas dalam ingatan sekaligus menyisakan rasa malu hingga dewasa. Ceritanya waktu itu saya bersama teman-teman seusia bersilaturahmi ke keluarga kakek sepupu. Insiden terjadi kala prosesi sungkeman yang secara tidak sadar pantat saya menekan ujung meja sepanjang waktu prosesi. Akibatnya saat berdiri sesaat setelah berhenti sungkem meja itu jomplang menumpahkan semua jenis kue dan minuman lebaran ke lantai. Teko gelas dan beberapa toples ada yang pecah sampai ambyar!

Tak terbayangkan campur aduk rasa malu dan rasa bersalah. Saking malunya beberapa musim lebaran selanjutnya sampai tak berani badan ke kakek sepupu itu.

 
"PR" Lebaran di Masa Dewasa

Atas nama tradisi Lebaran menjadi momen perayaan bagi semua kalangan. Banyak acara-acara warga di bulan Syawal terkemas dalam aneka warna selebrasi.

Termasuk acara salam-salaman dan maaf-maafan saat Idul Fitri pun tidak lepas dari keharusan tradisi. Dalam area terbatas beban tradisi ini punya andil dalam pendangkalan makna sejati prosesi silaturahmi atau badan saat Idul Fitri.

Satu contoh paling mudah adalah pengalaman pribadi penulis. Sebelum dewasa penulis rajin silaturahmi dan sungkem kepada saudara dan tetangga. Terhitung ada berpuluh-puluh rumah dikunjungi untuk sekedar singgah tak lama hingga berkesempatan ujung minta maaf kepada tuan rumah. Lelah juga silaturahmi Idul Fitri disertai ujung-ujung sebagai bentuk keharusan tradisi.  

Ironisnya sungkem mohon maaf kepada orang tua sendiri belum terbiasa. Padahal dalam setiap khutbah Idul Fitri imam shalat mengingatkan urutan permohonan maaf sungkeman adalah pertama kepada orang tua kemudian guru-guru dan selanjutnya keluarga dan tetangga dekat.

Kebiasaan yang terlembaga dalam tradisi sesekali bisa menjadi rezim bagi yang acapkali menghasilkan ironi. Setelah melalui serangkaian perenungan akhirnya penulis yang mulai beranjak dewasa bertekat memberanikan diri sungkem dengan standar setara dengan ketika ujung pada orang lain. 

Kikuk dan ewuh pasti! pada awal melakukan hal diluar kelaziman itu. Namun akhirnya ada kepuasan besar di hati setelah melewati ganjalan besar sebagaimana beratnya menyatakan cinta pada kekasih dambaan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun