Ada beberapa judul film nasional bertema solidaritas atau kesetiakawanan yang bagus untuk ditonton. Salah satunya yang berkesan buat saya adalah Laskar Pelangi. Film nasional yang diluncurkan pertama kali tahun 2008.
Biarpun film produksi dua belas tahun silam namun energi yang diusungnya tetap relevan dengan situasi saat ini hingga masa-masa mendatang. Solidaritas, ketulusan dan totalitas yang secara filmis ditawarkannya abadi sepanjang masa.
Sebagai produk sinema nasional Laskar Pelangi tampil memikat karena memotret dengan akurasi tinggi kemiskinan struktural di pulau Belitung.
Visualisasinya mengantarkan kembali imajinasi pemirsa pada setting dekade 70-an hingga dekade 80-an. Di mana struktur kemiskinan masyarakat Belitung tak lepas dari penguasaan lahan eksploitasi oleh PN Timah.
Hanya perlu dipahami bahwa produser dan sutradara tidak sedang bermain politik dengan film ini. Sehingga jangan berharap ada agitasi perjuangan kelas di sepanjang alur ceritanya. Baik pada dialog maupun dalam visualisasi tiap schene.
Quantum ikhlas
Riri Reza sebagai sutradara sangat kampiun memainkan komunikasi visual dalam misinya menyampaikan pesan menembus bahasa emosi pemirsa. Diperankan oleh aktris yang piawai bermain karakter, akting Cut Mini dalam menginternalisasi perwatakan Bu Mus atau Ibu Guru yang bersahaja (lebih tepatnya miskin) namun memiliki dedikasi total, penuh cinta dan keikhlasan.
Momen ketulusan dan cinta Bu Mus terlukiskan secara sempurna ketika sekolah miskin fasilitas tersebut harus berhadapan dengan situasi dilematis. Ketika itu datang peringatan dari kantor Depdikbud (dinas pendidikan) setempat bahwa kelas baru tak bisa dibuka jika murid baru tak mencapai 10 orang.
Ketegangan pun terjadi pada detik-detik terakhir menunggu tiba murid kesepuluh. Dag dig dug degup jantung pemirsa turut terpacu seirama dengan peningkatan tensi emosional Bu Mus dan Pak Harfan karena hingga jarum jam menunjuk angka 11 baru 9 anak yang hadir mendaftar.
Hingga tiba waktunya dari kejauhan tampak seorang anak berlari menuju tempat dimana Bu Guru, Pak Kepala Sekolah beserta 9 orang murid baru lainnya. Situasi spontan jadi ambyar..plong! Hati riang, perasaan lega terpancar dari raut wajah semua insan dalam ruangan reot SD Muhammadiyah Belitung.
Solidaritas Berbuah Prestasi
Anak-anak sekolah yang miskin, terbelakang, dekil dan urakan dengan sentuhan cinta dan panduan hati bersih Bu Mus mampu menjalin persaudaraan penuh kesetiakawanan. Sepuluh anak-anak aneh tersebut adalah:
1. Ikal, sang tokoh utama
2. Lintang, anak seorang nelayan tangguh
3. Mahar, sang seniman kecil
4. Sahara, satu-satunya perempuan pada awal tahun ajaran
5. Trapani
6. Borek, sang pengganggu
7. Kucai, ketua kelas
8. A Kiong, satu-satunya siswa Hokian
9. Syahdan
10. Harun, murid ke sepuluh, anak terbelakang mental namun jadi penyelamat hingga sekolah batal ditutup.
Solidaritas yang terbentuk laksana ikatan persahabatan tak terpisahkan. Saling jaga, saling asah, saling asih dan saling asuh. Bu Mus menamainya Laskar Pelangi untuk anak didiknya. Mereka selalu menikmati hari-harinya dengan tawa canda. Belajar bersama, bermain bersama dan menggantang cita-cita bersama.
Hingga pada satu momen lomba hari ulang tahun kemerdekaan republik Indonesia (HUT RI) yang menjadi ajang unjuk prestasi sekolah, Â Mahar dan kawan-kawan meraih juara pertama pentas seni. Jadilah SD Muhammadiyah itu juara umum yang menyebabkan tertariknya siswa sekolah lain pindah ke sekolah tempat gang Laskar Pelangi berada.
Laskar Pelangi: Siswa Kelas Dunia
Pada sekuel selanjutnya film Laskar Pelangi 2 mengisahkan bahwa pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan di masa kecilnya setelah tiba waktunya memberi bekal mental yang sangat tangguh untuk mengejar cita-cita.
Kontruksi mental yang terbentuk memungkinkan untuk memperoleh achievement tak terbatas. Beberapa diantaranya menjadi pelajar kelas dunia dengan karya yang juga kelas dunia.
Film Laskar Pelangi dan sekuelnya yang diadaptasi dari novel karya novelis produktif dan terkemuka Andrea Hirata pantas dihargai. Walaupun sudah menjadi kecenderungan umum bahwa film yang diangkat dari cerita novel akan kesulitan mengakomodasi semua imajinasi penulis cerita maupun pembacanya.
Namun Riri Reza sebagai sutradara sangat cerdas mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Kualitas visual dan totalitas aktor-aktris pemeran utama sanggup menambal kekurangan tersebut. Laskar Pelangi memang sangat berkualitas ditinjau dari banyak sisi di saat industri film nasional miskin kreasi.
Bersama dengan banyak film berkualitas lainnya yang syarat pesan moral dan kemanusiaan kuat Laskar Pelangi layak ditonton ulang. Refreshing yang sehat dan mendidik sangat diperlukan untuk masyarakat yang sedang membutuhkan suntikan semangat kesetiakawanan sosial menghadapi ancaman bersama.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H