Bisa dimengerti jika kemudian anak-anak generasi Pacelukan bercorak islam langgar yang tradisional. Bahwa kemudian beberapa diantaranya berkesempatan mengenyam pendidikan lebih lanjut hingga mapan berkarir di perantauan namun warna jiwa dan format batiniahnya masih ala langgar Pacelukan.
Tempat bersujud itu selalu menjadi land mark anak generasi yang lahir dan besar di dusun itu. Imajinasi akan bangunan klasik itupun akhirnya menjelma jadi monumen spiritual bagi generasi yang pada masa kecilnya menganggap jadi rumah keduanya. Lambaian panggilannya selalu mengusik kerinduan yang membuncah bagi putro wayah yang hidup di rantau.
Kerinduan itu selalu mengajak untuk pulang berziarah tradisi saksi bisu indahnya kehidupan masa lalu. Kini walaupun wujudnya telah berubah, lebih besar dan megah tentunya, tetapi pahatan-pahatan relief pada dinding sejarah langgar tua itu masih sanggup bercerita tentang kisah abadi bagi banyak generasi.
Bahkan lebih dari itu sebagai monumen spiritual langgar tua dusun Pacelukan tetap akan memberikan energi ruhani anak rantaunya saat kembali ke kilometer nol, titik awal pembentuk ciri khas warna spiritualitasnya. Dusun Pacelukan aku ingin pulang.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H