Salah satu kebutuhan mendasar dan mendesak manusia (human basic need) adalah kebutuhan emosi dan kebutuhan spiritual. Pernyataan ini terbilang valid karena sesungguhnya manusia itu lebih besar tergolong sebagai makhluk spiritual-emosional ketimbang makhluk jasmani.
Sejarah manusia banyak ditandai oleh catatan momen-momen emosional dan spiritual.Â
Dari peristiwa-peristiwa itu kebudayaan dan peradaban mengalami evolusi. Tumbuh dan berkembang secara gradual dan kadangkala revolusioner.
Manusia sebagai pribadi juga mengalami transformasi besar-besaran setelah melewati pengalaman subyektif yang paling emosional yang akan dimaknai olehnya secara spiritual.
Deskripsi di atas adalah cara saya untuk memahamkan bahwa kebutuhan manusia lebih besar pada aspek emosional dan spiritual. Dari aspek emosional yang sanggup memberi energi untuk survive dan hasrat untuk eksis. Bahkan lebih dari itu energi ini bisa ditulis lalu ditularkan sehingga sanggup menggerakkan sebuah masyarakat atau bangsa.
Sedangkan aspek spiritual mempersiapkan kedalaman makna yang akan menyediakan lanskap ketenangan, kebahagiaan dan kestabilan. Kebahagiaan spiritual bisa terakses dengan kesediaan seseorang untuk melakukan kegiatan berlandaskan nilai-nilai kemaslahatan, kemanusiaan dan keyakinan eskatologis (hidup setelah mati) yang biasa ada pada ajaran agama dan moral.
Krisis Korona
Dan persis beberapa minggu berlalu akibat kontraksi ekonomi yang signifikan langsung dirasakan rakyat kecil. PHK terjadi di beberapa industri seperti transportasi, pariwisata, hiburan dan retail-retail besar.
Pelaksanaan isolasi mandiri di masing-masing lokasi membuat pasar tradisional dan kios-kios kelontong menjadi lesu. Disusul sepinya pengunjung warung-warung kuliner dan langkanya penumpang ojek kampung seakan melengkapi nestapa masyarakat bawah.
Bayang-bayang krisis lebih luas sebagai mana pernah terjadi di akhir dekade 90 an menambah beban pikiran masyarakat. Walaupun oleh sebab yang berbeda namun masyarakat tentu belum lupa melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok, sempitnya lapangan kerja, menurunnya kualitas layanan publik dan usangnya fasilitas umum.
Keadaan itu diperparah oleh bertambahnya angka putus sekolah, beredarnya uang palsu, meningkatnya jumlah kasus kejahatan pencurian, perampokan dan pembegalan. Belum lagi kemungkinan adanya kejahatan teror terstruktur yang dirancang elit politik.
 Tumbuhnya solidaritas
Kini pembagian dus-dus nasi secara gratis kepada kelompok duafa dilakukan banyak pihak di kota-kota besar. Pembagian paket sembako juga setiap hari dilakukan.
Ada juga beberapa lembaga memrakarsai distribusi gratis berbagai jenis masker dan cairan sanitizer kepada semua orang yang ditemuinya. Penyemprotan di rumah-rumah penduduk secara berkala dilakukan oleh banyak organisasi sosial kemasyarakatan nirlaba.
Aksi-aksi sosial partikelir seperti itu tentu sangat menggembirakan sebelum instansi-instansi pemerintah melakukan. Kesadaran sosial sekelompok individu lebih cepat terbentuk dan akan bertahan lama dibanding eksekusi rencana lembaga-lembaga donor skala besar yang bersifat prosedural.
Reaksi spontan masyarakat berlebih untuk membantu saudara-saudaranya yang kurang beruntung sangat besar artinya dalam menguatkan ketahanan sosial. Pada akhirnya tumbuhnya solidaritas antar segmen juga akan mempercepat penyelesaian krisis jika tidak terinterupsi oleh manufer elit yang membawa agenda politik terselubung.
Masyarakat Indonesia yang terkenal religius sangat akrab dengan konsep kebahagiaan hakiki. Penganut agama formal menyebutnya kebahagiaan ilahiyah atas kehendak Tuhan. Para penghayat kepercayaan lokal mengistilahkannya sebagai rohso sejati.
Beberapa pribadi bahkan mengatakan mengalami rasa jenis itu yang kemudian banyak diverbalkan sebagai pengalaman ruhani.
Dengan karakter seperti itu umumnya masyarakat Indonesia mudah tergugah rasa empatinya. Lalu secara kolektif mudah pula terbangun solidaritas antar kelompok sebagai sesama warga masyarakat.
Itulah mengapa masyarakat Indonesia tergolong mudah dalam mengobati luka sosialnya. Situasi kritis selalu melahirkan kisah indah akan kepedulian, kebersamaan dan kesatuan.
Rasa sejati menjadi akar kukuhnya keutuhan masyarakat kita. Manusia Indonesia akan selalu menempatkan spiritualitas sebagai hal pokok dalam hidupnya. Karena itu berempati adalah hal mudah dan berbagi adalah hal indah secara personal maupun konteks sosial.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H