Menghadapi ekspansionisme Tiongkok di lautan dengan praktek unilateralisme diplomasi memerlukan kolektivitas dan soliditas negara-negara kawasan Laut Cina Selatan (LCS). Hal itu penting terutama jika mengingat fakta besarnya kapasitas geopolitik dan ekonomi Tiongkok hasil pertumbuhan ekonomi dua digit selama hampir tiga dekade terakhir.
Ekspansionisme diplomatik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) makin liar semenjak ekonomi negara itu bangkit dan bertransformasi menjadi raksasa ekonomi dunia. Dengan indikator Gross Domestic Brutto (GDP) terbesar di dunia yang bisa mengimbanginya hanya Amerika Serikat! Volume ekonomi yang menyamai atau bahkan melampaui AS dibarengi dengan kebangkitan pada sektor lain. Kebangkitan ekonomi Tiongkok pastinya menjadi landasan kebangkitan sains, teknologi, budaya dan kebangkitan kekuatan militer. Keseimbangan kekuatan militer dunia pun banyak bergeser tidak melulu secara tradisional milik AS dan Rusia.
Sudah sejak lama AS risau dengan besarnya anggaran militer Tiongkok. Kegusaran itu sangat beralasan mengingat pengalaman global AS yang hampir 3 dekade sebagai pemain tunggal politik dunia yang menjalankan diplomasi unilateral murni. Kehadiran militer AS di zona-zona penting seluruh penjuru dunia mendapat tantangan keras dari pertumbuhan anggaran militer Cina satu dekade terakhir ini.
Kegusaran AS selalu dijawab secara diplomatis oleh para pejabat tinggi RRT dengan selalu berkilah dengan mengemukakan angka rasio jumlah prajurit dengan populasi penduduk yang memang sangat besar. Seakan para pemimpin Tiongkok ingin memastikan bahwa besarnya kekuatan militernya hanya untuk satu orientasi dalam negeri.
Namun aturan politik dunia hakikatnya masih menganut teori dan asas struggle for life dan homo homini lupus. Siapa yang kuat dia yang menang! Walaupun tampaknya jauh lebih beradab penerapan dan penampakannya. Namun jika menyangkut klaim teritorial yang hadir kemudian adalah harga mati sebuah kedaulatan bagi negara-negara yang terdampak. Celakanya jika pelakunya satu negara adidaya maka banyak aturan internasional menjadi nisbi.
Ada anekdot menyatakan "orang yang memegang palu maka cenderung akan memukulkannya pada benda lain". Tiongkok dengan predikat raksasa ekonomi baru yang dibarengi pertumbuhan cepat dalam teknologi militer level negara adidaya tentu sangat yakin dengan posisi tawarnya yang tinggi menghadapi negara-negara tetangganya. Alhasil unilateralisme diplomatik kawasan jadi keniscayaan yang dipenuhi banyak gertakan militer, pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara kawasan LCS dan kemungkinan percobaan penempatan pasukan di pulau-pulau yang bertebaran di LCS oleh militer Tiongkok.
Karena itu negara-negara di kawasan Asia timur dan tenggara perlu menyiapkan kerangka kerja sama baru guna menghadapi karakteristik ancaman distabiltas kawasan yang ke depan akan banyak datang dari klaim-klaim sepihak Tiongkok.
Mengendornya pengawasan dan surutnya tindakan tegas pihak berwenang terhadap banyaknya pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif di perairan kita selain memberi ruang bagi banyak kapal asing untuk menjarah kekayaan laut juga bermakna memberi peluang hadirnya kekuatan ekspansif yang tentu bermuatan politik. Ambisi RRT untuk selalu mewujudkan peta daratan dan lautannya melalui nine dashed line (sembilan garis putus) ciptaannya telah memperoleh momentum melalui aksi kapal-kapal nelayan berbendera Tiongkok di laut Natuna.
Berbeda dengan kapal-kapal asing pencari ikan yang lain, pelanggaran kapal-kapal nelayan Cina di Natuna berbuah pernyataan resmi pejabat negara Tiongkok yang secara langsung atau tidak telah mengklaim kedaulatannya atas sebagian Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di laut Natuna. Perkembangan ini tentu sangat merugikan tidak hanya secara ekonomi tapi lebih jauh dari itu karena menyentuh aspek yang paling esensial pada ranah politik yang mengusik harga diri dan kedaulatan negara.
Watak ekspansionis seakan sudah sangat lama melekat pada rezim yang berkuasa di Tiongkok. Cara mengatasi konflik-konflik separatis di Tibet, Xinjiang dan provinsi lainnya dulu tercatat sangat represif. Kemudian klaim pulau-pulau jauh seberang lautan sangat tidak menghormati norma-norma internasional. Jelasnya klaim-klaim itu hampir semuanya mengusik zona ekonomi negara-negara tetangga berdaulat. Dalam prakteknya pemerintah RRT juga tampak memanfaatkan penjelajahan kapal-kapal nelayannya di kawasan LCS sebagai agen ekspansi teritorial.
Karena itu sebaiknya pemerintah kembali memperkuat penjagaan wilayah perairan nasional. Dalam bersikap juga harus tegas terhadap pelanggaran ZEE oleh kapal-kapal asing. Tak perlu ragu untuk mengambil eksekusi memadai pada setiap penjarah kekayaan laut Indonesia. Penenggelaman kapal asing pencuri kekayaan laut Indonesia berbendera negara manapun.
Kepada Tiongkok yang sudah terlanjur merilis pernyataan resmi dan merugikan posisi diplomasi Indonesia perlu membawa kasus itu ke badan dunia. Saya setuju apa yang disampaikan Menkopolhukam Prof. Dr Mahfud MD yang akan menyeret RRT ke PBB berkaitan dengan pelanggaran wilayah kedaulatan republik Indonesia. Tidak ada tawar menawar soal kedaulatan!
Langkah lain sangat mendesak untuk dilakukan pemerintah Indonesia adalah membangun representasi kedaulatan di perairan garis luar. Riilnya pemerintah harus lebih menggencarkan pembangunan fasilitas publik penduduk pulau-pulau terluar, memutakhirkan perangkat pengawasan dan memperkuat kehadiran satuan-satuan pertahanan. ***